Alih-alih menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam urusan pangan, barang impor justru merajalela.
Kemandirian pangan merupakan salah satu janji dari pemerintahan saat ini yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Dokumen yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 itu menyatakan “Kedaulatan Pangan” sebagai salah satu agenda prioritas nasional sebagai amanat Trisakti dan Nawacita khususnya pada Agenda Prioritas ke-7 yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Merujuk sumber yang sama, untuk tetap meningkatkan dan memperkuat kedaulatan pangan, sasaran utama prioritas nasional bidang pangan pada intinya ditempuh untuk memperkuat pilar-pilar ketahanan pangan melalui : 1) Tercapainya peningkatan ketersediaan pangan yang bersumber dari produksi dalam negeri; 2) Terwujudnya peningkatan distribusi dan aksesibilitas pangan; 3) Tercapainya peningkatan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat; 4) Mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan; 5) Peningkatan kesejahteraan pelaku utama penghasil bahan pangan; dan 6) Tersedianya sarana danprasarana irigasi (ketahanan air).
Berdasarkan pada UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari produk pertanian, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lainya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan pembuatan makanan atau minuman.
Alih-alih merealisasikan janji kedaulatan pangan, pemerintah justru menempuh jalan pintas dengan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik. Ini setidaknya merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) , dimana nilai impor barang konsumsi sepanjang Januari—Juni 2018 mencapai 8,18 miliar dollar AS, melonjak 21,64% dibanding tahun sebelumnya. Komoditas pangan seperti beras, kedelai, gula dan garam menjadi penyumbang terbesar pembelian barang konsumsi pada periode tersebut.
Bahkan untuk impor komoditas beras menjadi kontrovesial karena data antar instansi pemerintah yang berbeda-beda. Kementerian Perdagangan memutuskan impor beras sebanyak 2 juta ton pada tahun ini dengan alasan untuk mengendalikan harga beras sebagai antisipasi kemarau yang berpotensi membuat produksi turun. Sementara Kementerian Pertanian, menghitung dengan produktivitas padi sebesar 3 ton sampai 3,5 ton per hektare, maka produksi beras diprediksi bisa mencapai 3 juta sampai 3,5 juta ton.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) soal kebutuhan beras Indonesia mencatat kebutuhan beras nasional sebesar 2,4-2,7 juta ton per bulan. Data cadangan beras yang dirilis Perum Bulog, per Juli 2018 masih berada di angka 1.861.404 ton. Stok cadangan nasional dinyatakan aman jika Bulog menyimpan 1 – 1,5 juta ton beras.
Stok beras CBP (Cadangan Beras Pemerintah) per akhir bulan Juli 2018 adalah sebesar 1.861.404 ton yang terdiri dari pengadaan dalam negeri sebanyak 1.331.881 ton dan eks impor 529.523 ton. Dengan kondisi tersebut, Bulog merasa impor beras sebesar 2 juta ton terlalu berlebihan. Badan Pangan Dunia (FAO) memproyeksikan impor beras Indonesia tahun ini sekitar 800 ribu ton. Dengan demikian, jika jumlahnya berlipat-lipat memunculkan tanda tanya publik.
Karut marut impor pangan pada ujungnya bakal memberatkan rakyat. Benar, dengan barang impor membanjiri pasar harga jual dapat ditekan. Tetapi pada sisi lain, beban keuangan negara bakal bertambah berat di tengah loyonya rupiah. Ujung-ujungnya, rakyat jua yang harus menanggungnya melalui berbagai instrumen seperti kenaikan pajak, pencabutan subsidi barang publik, dan lain-lain. (kur).