hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Kartini dan Kesetaraan Gender

“Panggil aku Kartini saja, itulah namaku,” tulisnya dalam surat bertanggal 25 Mei 1899. Itu korespondesi pertamanya dengan Estella (Stella) Zeehandelaar, sahabat pena yang ditemuinya melalui iklan di majalah De Hollandsche Lelie, Belanda terbitan 15 Maret 1899. Aktivis feminis anggota Sociaal-Democratische Arbeiders Partij itu menjadi tumpahan keluh kesah Kartini yang hidupnya terasa sangat sumpek di tengah kungkungan tembok feodalisme Jawa.

ilustrasi-kartini-kesetaraan-gender
Ilustrasi Kartini dan Pertarungan Gender

Di tengah kemewahan hidup sebagai putri bangsawan, Kartini tahu bahwa di luar tembok rumahnya yang tinggi, rakyat hidup melarat dan bodoh. Kondisi yang beratus tahun diciptakan kolonial Belanda dengan meniadakan pendidikan bagi kalangan pribumi. Sebagai ningrat, Kartini berhadapan dengan tata krama yang melecehkan kaum perempuan. Tradisi yang mengakar turun temurun membelenggunya, bahwa kodrat perempuan tak lebih dari sekadar ibu rumah tangga, melayani suami yang bukan pilihannya dan membesarkan anak-anaknya.

“Terlalu banyak penderitaan di dalam dunia wanita kami,” keluh Kartini dalam suratnya kepada Stella pada 14 Maret 1902. Ia menolak dominasi partiarki yang berdiri angkuh bagai tembok raksasa, menjadi sebuah kewajaran.
“Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh,” masih kepada Stella pada 15 Agustus 1902. Ia tidak pernah bisa mengerti, bahkan hingga ajal menjemputnya pada 1904, mengapa ada jurang menganga begitu lebar antara kaum lelaki dan perempuan.

Mengapa perempuan berada di pihak yang kalah? Atau sesungguhnya makna kalah itu sendiri hanya ilusi dari kehendak untuk berada di posisi yang mungkin dianggap nyaman. Seperti ditulis Colotte Dowling dalam The Cinderella Complex: Women’s Hidden Fear of Independence.

Buku terbitan 1981 itu Dowling menggugah kesadaran kaum perempuan untuk berpikiran bebaa. Namun ia mengingatkan pada gilirannya setiap perempuan bakal terserang sindrom Cinderella Complex, sebuah sindrom yang terjadi ketika perempuan cenderung bergantung pada orang lain, terutama pada pria atau pasangannya, karena tidak dididik untuk menghadapi ketakutan dan masalahnya sendiri.

Kita melihat ironi yang lain pada pemikiran Simone de Beauvoir (1908-1986). Menurutnya keterbatasan perempuan menjadi sebab mengapa ia menjadi objek kaum lelaki. Lebih ekstrem lagi, novelis dan filsuf Perancis ini menyindir perempuan sebenarnya tidak dilahirkan, tetapi dibuat menjadi perempuan oleh masyarakat, budaya, dan institusi sosial yang ada.

Pandangan ini kita simak dalam karyanya “The Second Sex” (“Le Deuxième Sexe”) terbit tahun 1949. Bahkan, ia memprovokasi bahwa perempuan hanya dianggap sebagai “The Other” dalam masyarakat, bukan sebagai subjek yang sejajar dengan laki-laki. Ini penyebab ketidaksetaraan terhadap kebebasan perempuan.

Perlawanan terhadap kesenjangan gender di paruh pertama dan kedua abad 20, muncul di pelbagai tempat. Di AS, kita kenal Susan B Anthony. Dialah yang mempejuangkan hak kaum wanita berpartisipasi aktif dalam pemilu. Tentu saja tidak mudah, karena kala itu perempuan tidak diizinkan ikut memilih.

Pada Pemilu November 1872, perempuan kelahiran Massachusetts, AS,15 Februari 1820 ini ditangkap karena nekad ikut mencoblos. Ia didakwa melanggar undang-undang negara bagian dan didenda 100 dolar. AS baru mengizinkan perempuan ikut mencoblos pada tahun 1920.

Di Inggris mencuat nama Emmeline Pankhurst; aktivis politik pendiri gerakan suffragette, bertujuan memberikan hak pilih kepada wanita. Pankhurst dan organisasinya, Women’s Social and Political Union, berdiri pada 1903, melakukan pelbagai strategi seperti demonstrasi, mogok lapar, dan tindakan radikal lainnya guna menekan pemerintah agar memberikan hak suara kepada perempuan.

Upayanya terjawab, pada 1918, terbit Undang-Undang Hak Pilih yang membolehkan sebagian besar wanita di Inggris ikut Pemilu. Dan di Jawa, suara Kartini terdengar sayup-sayup sampai lantaran kuatnya himpitan patriarki dan kolonialisme. []

pasang iklan di sini