Di Hagia Sophia, di dinding yang kusam digerus waktu 1500 tahun itu, saya takjub memandangi wajah Theodora, maharatu Byzantium nan kontroversial itu. Hanya sebuah mozaik memang. Sosok ratu berlatar belakang hidup kelam itu tampak anggun didampingi sang suami, Kaisar Yustinianus Yang Agung. Keduanya duduk bersanding bersama Bunda Maria yang sedang memangku bayi kecilnya, Yesus.
Bayangan tentang pelacur muda yang licik seperti ditulis Paul Wellman dalam Novel The Female, sontak sirna. Di balik kisah hidupnya yang kelam itu Theodora justru mengukir nama harum dipanggung sejarah Romawi Timur.
Novel yang pertama kali terbit tahun 1935 itu melukiskan masa kecil Theodora yang hidup miskin bersama ibu dan kakak perempuannya yang berprofesi aktris merangkap pelacur. Perjalanan hidup yang sangat pedih sebagai pengemis, korban pelecehan seksual hingga menjadi pelacur kelas tinggi, dilakoninya dengan sabar namun ia tidak menyerah. Hingga kemudian nasib mengantarkannya ke ranjang hangat pelukan seorang lelaki yang kemudian menjadi Kaisar paling berpengaruh. Umurnya 20 tahun ketika pertama kali bertemu Justinian dan menikahinya pada 525, dua tahun sebelum ia naik tahta pada 527. Theo tak hanya menjadi istri yang hangat di atas ranjang. Ia mitra kerja yang piawai, mampu menyokong kaisar dalam mengambil berbagai kebijakan. Lantaran Theo, kaum aristorkrat Romawi dapat menikah dengan perempuan dengan status sosial rendahan. Eropa patut mengenang Theo yang telah menginisiasi lahirnya undang-undang yang menghargai hak-hak dan status kaum perempuan. Justinianus sendiri juga mereformasi seluruh hukum Romawi yang dikenal dengan istilah Corpus Juris Civilis. Code of Justinian Ini adalah karya-karya fundamental dalam jurisprudensi tahun 529 – 534, hingga kini banyak mewarnai hukum-hukum di Eropa.
Kebangkitan maupun kejatuhan para pemimpin besar dunia acapkali melibat seorang perempuan di belakangnya. Merekalah sejatinya pengubah roda sejarah. Di Argentina kita menemukan sosok Theo yang lain bernama Evita Peron. Jalan hidup istri Presiden Juan Domingo Peron ini bagaikan reinkarnasi Theo. Hidup miskin, artis, pelacur jalanan, kemudian wafat di usia muda karena kanker dan dikenang sebagai santa bagi kaum miskin.
Kematian legenda ‘kupu-kupu baja’ ini di bulan Juli 1952 menghentak seluruh warga Argentina. Publik tidak percaya kalau ia wafat sangat muda di usia 33 tahun. Dua juta orang turun ke jalan untuk memberi penghormatan. Mereka melakukan berbagai ritual untuk menghalau kematian Evita. Junta militer menyembunyikan jasadnya guna menangkal munculnya gerakan pemujaan terhadap Peronisme yang ekstrim. Kharismanya yang kuat terus hidup bersama jasadnya yang berupa mumi, mengembara selama 24 tahun sebelum ia sungguh-sungguh dimakamkan pada 22 Oktober 1976 di La Recoleta, Buenos Aires.
Terlahir dengan nama Eva Maria Duarte 7 Mei 1919, ia hanyalah anak jalanan dan pemain figuran sebuah teater dengan honor yang hanya cukup untuk secangkir kopi. Ia datang ke Buenos Aires, mimpi menjadi bintang film.
Seperti Theo di Konstantinopel, ia pun menemukan sang pangeran yang kemudian mengantarkannya ke panggung politik terpenting Argentina. Tentang para perem-puan ‘di balik layar’ yang membelokan jalannya sejarah terkadang ironis, bahkan acapkali dilupakan oleh sejarah itu sendiri. Kejayaan Justinianus yang Agung, Presiden Argentina tiga periode Juan Peron tak bisa mengabaikan peranan para perempuan yang justru terlahir sangat biasa, tetapi melahirkan hal-hal yang luar biasa. Mereka memang tak butuh sanjungan dan sorak sorai kemenangan, seperti halnya kebesaran hati Inggit Garnasih mengantarkan Sukarno ke kursi pimpinan tertinggi. Sejarah memang seiring diukir oleh orang-orang yang justru tak dikenal. (Irsyad Muchtar)