Jumat sore, 19 Juni 1970, dua bapak bangsa itu bertemu di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta. Sebuah pertemuan yang dingin, hening dan terasa mencekam. Sejumlah aparat militer bersenjata lengkap berjaga-jaga di koridor rumah sakit peninggalan kolonial itu. Agaknya bukan waktu yang tepat bagi keduanya untuk berbicara leluasa sambil menyeruput secangkir kopi atau sekadar bertukar kabar tentang republik yang mereka proklamirkan di tahun 1945.
Di hari yang menurut Bung Hatta amat penting itu, atas izin Soeharto ia dapat mengunjungi Bung Karno. Tetapi, bukan lagi sosok gagah yang dikenalnya di masa pergerakan, yang orasinya berapi-api membakar sentimen nasionalisme. Presiden Indonesia pertama itu, tahanan politik rezim penguasa baru (Orde Baru). Ia tampak ringkih, terbaring di ranjangnya yang sempit, tak sadarkan diri.
Pecahnya G-30-S PKI 1965 menjadi pintu masuk bagi Soeharto menyingkirkan Bung Karno, sebagai tertuduh aksi kudeta berdarah itu. Pidato pembelaan diri, Nawaksara, tak menggoyahkan keputusan sidang MPRS 1967 untuk mencabut mandat terhadap Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Ia pun tergusur dari kursi kekuasaan, penguasa Orde Baru bahkan memperlakukannya amat buruk, diasingkan dari sanak keluarga dan kolega, diputus dengan dunia luar. Kehilangan hak perdata dan politik membuatnya depresi berat dan kesehatannya terus menurun.
Di Jumat sore itu, air mata Hatta tak terbendung melihat perlakuan tak manusiawi terhadap Bung Karno, sahabat yang dikenalnya sejak 38 tahun silam. Di rentang waktu empat dasa warsa itu, Hatta mafhum ada kontradiksi pemikiran antara dirinya dengan Bung Karno dan acap kali terlibat perdebatan sengit. Seperti juga diakui Bung Karno bahwa, ia dan Hatta memang punya mimpi bersama untuk melihat Indonesia yang berdaulat, tapi keduanya tak berada dalam riak gelombang yang sama.
Dan pada puncak pertikaian yang tak bisa lagi berdamai, akhirnya Dwitunggal itu pecah kongsi pada 1956. Hatta meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden. Kegundahan Hatta di tahun-tahun yang panas era 1950-an itu, seperti diungkapkan, I Wangsa Widjaya, bukan saja karena banyaknya penyimpangan konstitusi oleh Bung Karno, tetapi juga dipicu konflik berkepanjangan antar partai politik. Menjelang Pemilu pertama 1955, tercatat 172 partai politik peserta Pemilu dengan jumlah pemilih 43 juta orang. Politisi penerus zaman ini, seolah mewarisi kondisi kepartaian di era itu, dimana fitnah, saling hujat dan pertengkaran tak sehat antar partai terus mengalir, partai berkuasa lebih mengutamakan aspirasi politik partainya ketimbang kepentingan bangsa dan negara.
Maka Hatta berdiri di luar pagar kekuasaan, mengambil sikap oposisi. Ia tak putus mengkritisi Demokrasi Terpimpin ala Bung Karno. Sebuah sistem yang melegalkan Presiden bertindak layaknya diktator. Kritik Hatta tertuang dalam bukunya “Demokrasi Kita”. Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’état, ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak di dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
Persahabatan mereka memang unik, betapapun tajam perbedaan visi politik namun tak pernah menjalar ke ranah pribadi dan keluarga, mereka tetap saling menghormati. Saat Hatta terkena stroke pada 1963, Bung Karno mengirimnya berobat ke Swedia atas biaya negara. Demikian pula Hatta berujar, dalam banyak hal ia tidak setuju dengan Bung Karno. “Tetapi, ia Presiden Republik Indonesia, negeri yang kemerdekaannya saya perjuangkan selama bertahun-tahun. Benar atau salah, ia Presiden saya,” kata Hatta saat diminta komentar perpecahan Dwitunggal.
Dan di sore yang temaram itu, seperti diceritakan Meutia Farida Swasono, dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan. Bung Karno menyapa amat lemah. “Kau kah itu Hatta.”
“Aa No, apa kabar,” sahut Hatta, mendekat sambil memijiti tangan Bung Karno. Ada yang ingin ia katakan kepada Hatta, namun teramat lemah dan sulit terdengar. Muetia hanya menangkap sepenggal kalimat dalam bahasa Belanda. “hoe gaat het met jou?, apa kabar? Dua hari berselang, pada 21 Juni 1970 Bung Karno wafat. Namun tragedi terus berlanjut. (Irsyad Muchtar)