BANYAK kalangan abai bahwa koperasi itu badan usaha. Orang di daerah cenderung menganggap koperasi merupakan lembaga milik pemerintah. Pandangan salah ini implikasi dari kuatnya cengkeraman pemerintah Orde Baru. “Salah kaprah itu harus diluruskan,” kata Yuana Sutyowati, Deputi Bidang Pembiayaan KemenkopUKM.
“Ini bukan lembaga milik pemerintah. It’s businesses, dan karenanya gak bisa dikelola pake ilmu kebatinan,” ujarnya berseloroh. Rata-rata koperasi perlu naik level. “Jika sulit dapatkan dana dan tidak maju, jangan salahkan pemerintah,“ kata Yuana. Di wilayah kedeputiannya, Yuana menyebut hampir 75 persen regulasi disiapkan untuk KSP. Sebab, KSP dinilai sangat strategis dan kunci bagi perekonomian di perdesaan.
Argumen untuk itu, fakta yang menunjukkan bahwa jumlah bank hanya 2.000-an, sedangkan KSP hampir 70.000-an. Dengan total 62,92 juta UMKM, yang 99 persen mikro, pembiyaan yang paling at home dan paling cocok sebenarnya KSP.
Seyogianya koperasi dibaiayai oleh dana anggotanya. Yang terjadi, kecuali di koperasi kredit, justru koperasi mengandalkan dana perbankan. Ketika melewati proses penyaringan yang ketat, sedikit sekali KSP yang mampu beradaptasi dengan perbankan alias memenuhi kriteria 5C.
Bahwa kinerja keuangan koperasi memprihatinkan, Yuana menunjuk pengalaman LPDB yang terpaksa mengerem penyaluran dana bergulir. Pihaknya sudah mendorong 123 KSP/ USP ke PIP dan BAP. Ditargetkan masuk 60 KSP saja, tapi hingga kini baru 35 KSP yang terjaring. Artinya, sangat sulit mencari koperasi yang punya standar IT, NPL di bawah 5 persen dan manajemennya solid.
Syarat yang ringan saja tidak bisa dipenuhi. Secara nasional, baru 19 ribuan KSP yang punya SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia). Memang, biaya SKKNI ini tidak murah, sekitar Rp6-Rp 7 juta per kategori kajian.” Itu berat buat puluhan ribu KSP kelas gurem,” tutur Yuana. Kendala biaya SKKNI ini coba diatasi bersama lembaga legislatif.●