“Untuk Rasa Kami Juara”. Demikian slogan yang dikumandangkan bisnis catering Dapur Panglima. Dinamakan Panglima karena usaha katering di bawah Culture Royal group berada di kawasan Kompleks TNI AU Pancoran. Grup sudah berdiri sejak sembilan tahun yang lalu, namun Dapur Panglima unit usaha lain sejak tiga tahun lalu.
Menurut Managing Director dan owner Culture Royal Grup Derrick Buntaran selain punya keinginan melestarikan kuliner nusantara, tidak banyak pebisnis yang fokus seratus persen masakan Indonesia. Setelah grup utamanya bergerak di bisnis katering premium dengan masakan yang lebih global, maka Dapur Panglima adalah nasi boks khusus variasi masakan Indonesia.
Ada delapan paket nasi boks yang ditawaran dengan kisaran harga Rp33 ribu hingga Rp43 ribu. Di antaranya paket Nasi Langgi, berisi nasi kuning, osik daging sapi, kering tempe kacang ebi, orek tempe gembus, serundeng pedas, udang garng, telur dadar iris, timun kemanggi dan sambel kecombrang. Semua ada delapan macam dalam satu boks.
Lainnya adalah Nasi Liwet, Nasi Pedas, Nasi Jamblang, Nasi Pandan Wangi, Nasi Udang Raos, Nasi Sunda Kelapa, Nasi Berkah. Dua terakhir dibandroll Rp43 ribu. Yang menarik ialah Nasi Pandan Wangi merupakan kreasi sendiri, berupa nasi berwarna hijau dengan empal suir pedas manis, kering kentang stick, abon cakalang basah, serundeng kacang,ikan balita goreng, sambel goreng kentang, terong raos dan sambel kecombrang.
“Pasar kami untuk acara perkantoran seperti gathering dan acara keluarga seperti pernikahan. Kami pernah melayani sampai 10 ribu nasi boks per hari. Tetapi kemampuan produksi kami bisa lebih dari itu per hari,” tutur pria kelahiran 1978 ini kepada Peluang, beberapa waktu lalu.
Untuk bisa berproduksi Dapur Panglima menggunakan tenaga 10 koki. Menurut Derrick dia juga menggandeng sejumlah supplier, mulai dari langsung petani untuk beras, pedagang telur, ayam potong dan sebagainya.
“Sebetulnya hal yang tidak mudah bagi bisnis kuliner yang pemula. Kami beruntung sudah menjalankan bisnis katering sebelumnya. Sebuah riset menyebutkan hanya 25 persen dari mereka yang mencoba bisnis catering berhasil, itu butuh kehati-hatian,” ujar alumni Universitas Oregon dan Portland Amerika Serikat ini.
Untuk bisnis katering, Derrick hanya fokus di wilayah Jabodetabek. Itu juga pasar yang potensial karena pusat eknomi yang seolah tidak pernah ada kata berhenti. Paling jauh ialah melayani pemesanan hingga wilayah Sukabumi.
Dapur Panglilam tidak melayani luar kota yang jaraknya terlalu jauh karena kesegaran makanan harus dijaga dan ini kiatnya menjaga kualitas. Pemesanan katering tidak bis aidlakukan dadakan, tetapi jauh hari sebelumnya hingga bisa dipersiapkan.
Ketika ditanya bagaimana bisa membuat kategeri dengan delapan item dalam satu boks, berapa margin yang diambil? Derrick menjawab hal ini yang membedakan bisnis kuliner dengan cara katering dengan restoran.
“Katering tidak punya risiko piring pecah, sewa tempat, biaya cuci piring seperti restoran. Namun ke depannya saya punya cita-cita ingin mendirikan restoran,” ujar Derrick.
Bagaimana bisa jatuh hati pada kuliner? Derrick bercerita bahwa ayahnya juga bisnis restoran pada 1980-an ketika bisnis itu masih dipandang sebelah mata. Sang Ayah menjadi owner restoran Tokyo Garden, Big Boy. Kalau begitu buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya seperti kata pepatah.
Lalu apa masakan favorit Derrick sendiri?
“Saya suka nasi goreng. Karena simpel tetapi berisi,” tutup dia (Irvan Sjafari).