Sanksi pembekuan usaha sampai hukuman pidana menanti perusahaan fintech yang merugikan konsumen. Sebanyak 227 fintech ilegal sudah diblokir pemerintah.
Ratusan konsumen fintech mengadu ke LBH Jakarta. Mereka menilai perusahaan pinjaman online telah berlaku semena-mena. Mulai dari meneror sampai melakukan pelecehan seksual. Suku bunga pinjaman yang dikenakan pun dinilai sangat memberatkan dan tidak transparan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator pun mengaku gerah dengan sikap sebagian perusahaan fintech tersebut. Ketua Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi OJK Tongam Tobing mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah memblokir 227 fintech peer to peer lending ilegal. “Sudah diblokir semua website fintech ilegal,” ujar Tongam.
Mengacu pada Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016, penyelenggara peer-to-peer lending wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK. Apabila tidak terdaftar, maka fintech tersebut merupakan fintech ilegal di luar pengawasan OJK. Pemblokiran dilakukan selepas Satgas Waspada Investasi menginventarisasi fintech ilegal yang beroperasi di Indonesia.
Meski sudah dilakukan pemblokiran, OJK mengakui tidak bisa menjamin seluruh fintech ilegal telah tutup. Oleh karenanya, OJK hanya bisa menghimbau agar calon konsumen meneliti terlebih dahulu legalitas perusahaan pinjaman online di website OJK. Cara itu dinilai dapat memperkecil potensi risiko kerugian yang bakal diterima konsumen.
Sebelumnya, dari pengakuan para korban LBH Jakarta mendapati bahwa perilaku perusahaan fintech legal dan ilegal setali tiga uang. Mereka sama-sama melakukan intimidasi dan kekerasan kepada konsumen yang telat membayar cicilan. Sayangnya, LBH Jakarta tidak mau membuka identitas fintech yang melakukan tindakan merugikan tersebut. Alasannya, demi kepentingan advokasi para korban.
Terkait dengan keberadaan fintech ilegal yang merugikan konsumen, pada pertengahan Juli lalu OJK mencatat mayoritas berasal dari China. Menurut Tongam, hal itu dikarenakan pemerintah China tengah melakukan penertiban terhadap industri pinjaman online di negaranya. Sehingga, perusahaan ilegal tersebut menggeser bisnisnya ke pasar potensial seperti Indonesia.
OJK melalui Satgas Waspada Investasi mengklaim secara rutin melakukan pengawasan kepada perusahaan fintech. Bagi yang ilegal, pihaknya juga telah membuat laporan resmi kepada pihak kepolisian. Selain itu, bekerja sama dengan Kominfo untuk memblokir situs penawaran dan akun media sosial milik fintech ilegal.
Senada dengan OJK, Kominfo menyebut bahwa perusahaan pinjaman online yang melakukan penyalahgunaan data dapat terancam sanksi denda dan pindana. Salah satu bentuk penyalahgunaan data adalah pengambilan kontak tanpa sepengetahuan nasabah. Hal tersebut diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 32 yang menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan transmisi dan memindahkan informasi elektronik milik orang lain akan dipidana dengan penjara paling lama delapan tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 miliar.
Meski sudah ada aturan yang mengatur tentang privasi data pribadi, namun penegakannya masih lemah. Sebut saja data tentang nomer ponsel pribadi. Kewajiban registrasi nomor ponsel beberapa waktu tidak menjamin kerahasiaan nomer konsumen. Faktanya, masih banyak ditemukan SMS/WA liar yang menawarkan beragam produk dan layanan jasa.
Dalam menindak aplikasi fintech yang nakal, Kominfo telah bekerjasama dengan toko aplikasi. Bagi yang ilegal, toko aplikasi dikirimi surat agar aplikasi fintech tersebut tidak bisa diunduh. Kominfo hanya menindak fintech yang menyalahgunakan data. Sedangkan jika fintech beroperasi tanpa izin merupakan ranah OJK. Sejak 2012, Kominfo mengklaim telah menurunkan 669 layanan aplikasi fintech dan investasi bodong yang merugikan masyarakat. (Kur).