hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Filantrofi Islam Untuk Keadilan Ekonomi

Potensi dana zakat yang dihimpun pada tahun ini diprediksi senilai Rp9 triliun. Selain zakat, instrumen wakaf tunai juga menjadi andalan untuk pemerataan kesejahteraan.

Kesenjangan ekonomi masih menjadi tantangan di sejumlah negara berkembang termasuk Indonesia. Meski mencatatkan pertumbuhan positif, namun ketimpangan kesejahteraan dengan mudah dapat ditemui. Islam menjawab problematika tersebut salah satunya dengan filantrofi melalui instrumen zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf).

Dalam Filantropi Islam: Sejarah Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia, oleh Amelia Fauzia,  terdapat tiga konsep utama mengenai filantropi yang tertuang dalam Al-Quran dan Hadist, yaitu mengenai kewajiban agama, moralitas agama dan keadilan sosial. Kewajiban agama dalam filantropi ini merupakan kewajiban atas pembayaran zakat bagi muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), sedangkan wakaf dan sedekah merupakan hal yang disunnahkan, mempertimbangkan manfaatnya jauh lebih besar dalam upaya mensejahterakan masyarakat.

Moralitas agama menekankan bahwa zakat bukan hanya kewajiban ritualitas tetapi jauh melampaui itu, yaitu merupakan bukti keimanan seseorang terhadap Tuhannya. Keadilan Sosial dalam konteks Filantropi mencakup hak-hak masyarakat miskin untuk mendapatkan bantuan (QS. 51:19), distribusi kekayaan (QS. 95:7) dan menjaga tingkat pemerataan ekonomi (QS. 59:7).  Ketiga konsep filantropi tersebut, dapat terwujud dengan baik dalam tataran praktik jikalau ada sinergi antara negara dan masyarakat sipil dalam hal pengelolaan filantropi.

Pada praktiknya, gairah umat untuk berkontribusi dalam filantrofi juga semakin naik. Ambil contoh di instrumen zakat. Data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), pada akhir tahun lalu dana zakat secara nasional bisa mencapai Rp8 triliun. “Jika prediksi tersebut tepat, maka rata-rata pertumbuhan penerimaan zakat tahunan mencapai 24%,” ujar Bambang Sudibyo Ketua Baznas.

Pengelolaan zakat tersebar di berbagai lembaga amil zakat (LAZ) yang jumlahnya mencapai lebih dari  200 lembaga. Namun yang tersertifikasi secara resmi baru mencapai kurang dari 20. Dari jumlah dana zakat yang terkumpul secara nasional sampai akhir tahun lalu, Baznas menerima dana sebesar Rp195,09 miliar. Sedangkan penyaluran dananya mencapai Rp175,81 miliar.

Sejalan dengan semakin bergairahnya masyarakat dalam partisipasi dana kebajikan, Baznas menargetkan penghimpunan dana zakat nasional mencapai Rp9 triliun pada akhir tahun ini. Oleh karenanya, berbagai program sosialisasi dan kerja sama dengan komunitas terus dilakukan oleh Baznas.

Baznas mengklaim, berdasar hasil penelitian Pusat Kajian Strategis (Puskas) BAZNAS tentang Efektivitas Program Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat BAZNAS Pusat Tahun 2018, telah menunjukkan hasil menggembirakan. Hal itu didasarkan pada sejumlah faktor yaitu penghasilan mustahik (orang/lembaga yang berhak menerima zakat) naik rata-rata sebesar 97,88%. Selain menggenjot perekonomian, kesejahteraan spiritual (keislaman) mustahik, tingkat pendidikan dan kesehatan serta kemandirian mustahik juga naik.

Kesuksesan ketiga adalah berhasil mengentaskan 28% mustahik dari garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS). Keempat, bisa memperpendek 3,68 tahun dari waktu yang diperlukan untuk mengentaskan mustahik dari garis kemiskinan versi BPS, yang berarti jika tanpa zakat, waktu pengentasan kemiskinan menjadi 3,68 tahun lebih lambat.

Kelima, sukses meningkatkan penghasilan mustahik hingga melampaui garis Kebutuhan Pokok Minimal (had kifayah) pada 36% mustahik. Keenam, BAZNAS berhasil meningkatkan penghasilan mustahik hingga melampaui garis nishab zakat pada 26% mustahik dengan standar nishab emas dan 23% mustahik dengan standar nishab beras. Ini  berarti bahwa mustahik tersebut telah dientaskan dari kemiskinan sedemikian rupa sehingga yang bersangkutan telah berubah status menjadi muzaki. “Bisa disimpulkan, bahwa multiplier effect dari pendistribusian dan pendayagunaan zakat sangat besar. Efek tersebut akan semakin membesar sebanding dengan besarnya jumlah zakat yang didistribusikan dan didayagunakan,” ujar Bambang beberapa waktu lalu.

ZIS dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Manfaat zakat juga sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Hal itu dinyatakan Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro bahwa zakat merupakan instrumen potensial yang dapat mendukung agenda pembangunan nasional sekaligus pembangunan berkelanjutan global. Keselarasan zakat dengan Sustainable Development Goals (SDGs) dapat dilihat dari berbagai program zakat yang ditujukan untuk menghapus kemiskinan (SDGs Tujuan 1), mengakhiri kelaparan (Tujuan 2), mengurangi ketimpangan (Tujuan 10), serta kemitraan untuk mencapai tujuan (Tujuan 17).

Menteri Bambang kemudian menjelaskan beberapa contoh pemanfaatan dana zakat di Indonesia. Pertama, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Jambi. Dana Zakat telah mendukung pembangunan PLTMH untuk menyediakan suplai listrik bagi 806 rumah tangga di empat desa Provinsi Jambi, yaitu Desa Lubuk Bangkar (60 kW), Ngaol (40 kW), Air Liki (40 kW), dan Air Liki Baru (40 kw), sehingga memberikan manfaat bagi 8 ribu orang. Dengan skema blended finance, pembangunan PLTMH ini juga melibatkan UNDP, Bank Jambi, Kementerian ESDM, dan Pemerintah Provinsi Jambi.

“Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan Baznas telah menyelaraskan program zakat untuk mendukung pencapaian SDGs di Indonesia, seperti pembangunan PLTMH di desa-desa terpencil,” jelas Menteri Bambang dalam suatu Seminar beberapa waktu lalu.

Kedua, Program Pemberdayaan Desa. Dana Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) telah digunakan untuk memberdayakan 1.056 desa yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah penerima manfaat pada 2017 hampir mencapai 2 juta orang. Ketiga, Unit Kesehatan Zakat. Pelayanan kesehatan terpadu ini ditujukan untuk semua mustahik, termasuk di daerah bencana, yang mencakup aspek kuratif, preventif, rehabilitatif, serta persuasif. Lima provinsi yang sudah memiliki Unit Kesehatan Zakat ini adalah Provinsi Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, serta Sulawesi Selatan. Keempat, Kesiapan Tanggap Bencana, meliputi program pemulihan rumah terhadap 23 bencana alam di Indonesia sejak 2016, layanan dapur umum di sebelas lokasi bencana, serta pembangunan enam jembatan di empat lokasi bencana. Terakhir, Penyaluran Daging Kurban ke 20 ribu keluarga di 108 desa, 40 kabupaten, dan 20 provinsi Indonesia.

Potensi Wakaf

Selain dana ZIS, instrumen filantrofi Islam untuk mewujudkan keadilan sosial adalah wakaf. Saat ini, pemahaman wakaf semakin berkembang tidak saja dalam bentuk tanah tetapi juga menyasar wakaf uang, wakaf saham dan wakaf produktif lainnya.

Untuk mengoptimalkan potensi wakaf tersebut, Pemerintah telah mendirikan Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada 2004. Kini BWI dipimpin oleh Muhammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era SBY. Menurut Nuh, potensi wakaf di Indonesia sangat besar, karena jumlah penduduk beragama Islam di atas 200 juta dari 260 jutaan seluruh penduduk. ‘’Besar sekali potensinya, cuma sulit untuk menjadi suatu kekuatan riil. Tetapi, yakinlah suatu saat wakaf akan mengalami perkembangan yang sangat pesat dan bisa menjadi salah satu kekuatan ekonomia nasional kita,’’ ujarnya.

Sayangnya belum ada data resmi tentang perkembangan jumlah wakaf produktif seperti wakaf uang atau wakaf saham. Dari situs BWI, data wakaf masih berupa wakaf tanah dengan mengacu dari data Kementerian Agama. Sampai tahun 2016, total tanah wakaf di seluruh Indonesia mencapai 4,36 miliar meter persegi.

Saat ini ada 200 lebih lembaga pengumpul wakaf (Nazhir) uang yang terdaftar di BWI. Melalui pada Nazhir uang tersebut, diharapkan masyarakat dapat menyalurkan wakaf produktif untuk peningkatan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. (Kur).

pasang iklan di sini