hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Deindustriliasi Prematur Membuat Ekonomi Mundur

Melambatnya sektor manufaktur berdampak pada merosotnya penyerapan tenaga kerja, melebarnya defisit transaksi berjalan, dan turunnya perpajakan.

Deindustrialisasi yang tejadi di Indonesia datang terlalu cepat. Dalam 10 tahun terakhir, porsi penurunan porsi manufaktur terhadap perekonomian sebesar 7%. Angka itu jauh lebih tinggi dibanding negara lain di kawasan ASEAN seperti  Thailand dan Malaysia yang hanya melambat kurang dari 4%.

Deindustrialisasi prematur berdampak signifikan pada banyak hal, antara lain turunnya perpajakan, penyerapan tenaga kerja, dan membengkaknya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).

Dalam hal ketenagakerjaan, dengan jumlah angkatan kerja yang sebagian besar lulusan SD/SMP, sektor industri menjadi tumpuan harapan terserapnya tenaga kerja. Apalagi, masih ada 70 juta orang yang menganggur di seluruh Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2019, ada 129,36 juta orang bekerja. Dari jumlah itu, porsi tenaga kerja di industri pengolahan sebanyak 14,09%, turun dibanding Februari 2018 sebesar 14,11%. Industri pengolahan merupakan sektor kedua terbesar dalam struktur ketenagakerjaan setelah sektor pertanian. Sayangnya, kedua sektor ini justru penyerapan tenaga kerjanya turun.

Naiknya investasi ternyata juga tidak berkorelasi langsung dengan penyerapan tenaga kerja. Dari Januari-September 2018, jumlah tenaga kerja yang terserap dari investasi sebanyak 704.813 orang. Namun dalam yang sama 2019, serapan tenaga kerja justru turun menjadi 703.296 orang.

Selain menimbulkan masalah ketenagakerjaan, mandeknya industri juga berdampak pada kian melebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Hal ini terjadi karena Indonesia mengandalkan barang-barang impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Padahal, bahan baku mentahnya banyak yang berasal dari dalam negeri.

Sekadar informasi, transaksi berjalan mencatat keluar masuknya devisa akibat perdagangan barang dan jasa. Ada empat bagian cakupan, yang sebetulnya berbentuk neraca Barang (Goods); Jasa-Jasa (Services); Pendapatan Primer (Primary Income); dan Pendapatan Sekunder (Secondary Income).

Neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2019 membukukan defisit sebesar USD8,4 miliar atau setara 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). CAD tersebut jauh lebih dalam ketimbang kuartal I-2019 yang hanya USD7 miliar (2,6% PDB). 

Jika dicermati sejak 2014, CAD semakin melebar. Sumber utamanya adalah defisit dari neraca pendapatan primer yaitu neraca yang mencatat transaksi dari penyediaan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial. Dalam hal ini, ada arus masuk (inflow) berupa hasil yang diperoleh dari penyediaan tenaga kerja atau modal finansial kepada bukan penduduk. Sedangkan arus keluar (outflow) merupakan biaya yang harus dibayar karena memanfaatkan tenaga kerja atau modal finansial asing. Melebarnya defisit neraca pendapatan primer, karena membengkaknya utang luar negeri.

Masalah dari deindustrialisasi prematur adalah turunnya perpajakan. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak hingga Agustus 2019 mencapai Rp801,02 triliun atau 50,78% dari target APBN 2019 yang sebesar Rp 1.577,56 triliun.

Namun demikian, PPh Nonmigas mengalami pertumbuhan negatif 6,22% (yoy) menjadi Rp39,42 triliun. Selain itu, pertumbuhan negatif juga dialami pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar -6,36% (yoy) menjadi Rp 288,01 triliun. Secara sektoral, di industri pengolahan/manufaktur realisasi pajak semester I-2019 tercatat tumbuh negatif 2,6%. Padahal tahun sebelumnya bisa tumbuh 13%. Hal itu terjadi karena tingginya restitusi atau pengembalian lebih bayar dan moderasi aktivitas impor. Besaran restitusi pajak di sektor manufaktur sepanjang semester I-2019 tumbuh hingga 30,8%.

pasang iklan di sini