hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Curang

Irsyad Muchtar

Peluangnews – Akhirnya sang komedian menuju gedung putih. Media massa menyambut kemenangan Tom Dobbs dalam pemilihan presiden paling kocak di Amerika Serikat (AS). Ia, menyingkirkan para kandidat dari dua partai utama, Demokrat dan Republik. Awalnya, Dobbs tak sungguh ingin menjadi orang nomor satu di negeri Paman Sam itu. Ia sekadar melucu bahwa jika dirinya dipilih jadi presiden, Ia bisa lebih baik dibanding presiden yang saat itu tengah menjabat.

“Aku muak dengan Demokrat dan Republik, mereka cuma tukang bohong, tukang menghabisi uang rakyat,” kata Dobbs yang secara independen nekad mencalonkan diri sebagai presiden negara Adi kuasa itu.

Dan, pelawak yang tak diperhitungkan itu, secara ajaib menyingkirkan kedua lawannya Presiden Kellogg, petahana dari Partai Demokrat, dan Senator Mills dari Partai Republik.

Tentu saja ini bukan peristiwa politik sungguhan. Tom Dobbs, diperankan dengan apik oleh Robin Wiiliams, hanyalah kisah fiktif dari ‘studio dongeng’ Hollywood. Tetapi, film berjudul Man of The Year produksi Morgan Creek tahun 2006 itu, mengajak penonton untuk tetap bermimpi bahwa segala kemungkinan bisa terjadi. Mimpi yang dua tahun kemudian terbukti ketika untuk pertama kalinya seorang keturunan Afrika bernama Barack Hussein Obama dipilih menjadi Presiden AS ke 44 pada 4 November 2008.

Kembali kepada Dobbs, Benarkah kemenangannya lantaran rakyat AS memang memilihnya? Pertanyaan ini mengemuka lantaran acap kali kita dihadapkan pada proses pemilu di berbagai negara yang sarat dengan ragam kecurangan, seperti intimidasi, manipulasi penghitungan suara hingga intervensi pemerintah. Juga terjadi pada Dobbs yang sejatinya bukan pemenang yang sah. Seorang teknisi pemrograman penghitungan suara elektronik dalam pilpres itu menyulap jumlah suara lantaran ingin melihat iklim politik di AS berubah.

Sebagai negara demokrasi nomor satu dunia, AS memberikan kebebasan bagi setiap warganya berpartisipasi dalam proses politik dengan memilih perwakilan mereka sendiri melalui pemilu. Namun, pada sisi lain, implikasi kapitalisme membuat proses pemilu terasa kecut. Kuatnya pengaruh uang dan kekuasaan pada gilirannya berimplikasi pada keputusan politik dan mengurangi representasi rakyat yang sebenarnya. Sejumlah proses pilpres kontroversi, seperti yang terjadi pada John F Kennedy (1960), George W Bush (2000) atau mundur ke belakang di era Thomas Jefferson (1800) toh tidak mengubah presiden terpilih untuk tetap dilantik.

Dari kasus tiga presiden tersebut, kendati frekuensinya terbilang rendah, pemilu di AS tak luput dari pelanggaran dan praktik curang para politisi. Bahkan ketika Donald Trump terpilih pada 2017, peristiwa itu dicatat sebagai awal periode polarisasi politik dan kemunduran demokrasi yang menghancurkan norma-norma di AS. Trump seperti merepresentasi sindiran politisi Inggris, Winston Churchil bahwa demokrasi hanyalah sebuah sistem paling buruk dari pemerintahan, kecuali semua yang lain telah dicoba.

Ironisnya, saat Pilpres 2020, Trump dikalahkan oleh Joe Biden dan Kamala Harris, ia sontak menuduh ada kecurangan yang membuat suara para pemilihnya hilang. Dan secara brutal mengerahkan ribuan massa menyerbu Capitol Hill Washington DC pada 6 Januari 2021. Tindakan yang dinilai mencemarkan citra AS sebagai kampiun demokrasi dunia.

Pada metafora Dobbs, kita diajarkan untuk jujur sejak dari hati. Ia yang menyadari kemenangan itu hanya rekayasa mesin penghitung suara, maka ia harus mengembalikan sesuatu yang bukan haknya. Tetapi, Delacroy, perusahaan komputer mesin canggih yang melambungkan suara Dobbs, merahasiakan kesalahan tersebut guna menjaga pasar saham yang meningkat.

Dan begitulah, pada proses pemilu ada dua hal krusial, pertama, mereka yang memberikan suara dan kedua, mereka yang menghitung suara. Yang pertama adalah para penegak demokrasi dan yang kedua adalah penentu kemenangan. []

pasang iklan di sini