SETAHUN lalu, tepatnya pada 6 Desember 2016, bisnis perkoperasian di Tanah Air maju selangkah, ditandai masuknya Koperasi Arta Sarana Jahtera (ASJ) ke pasar modal. Koperasi Pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini menjadi koperasi pertama yang masuk ke pasar modal. ASJ menerbitkan Medium Term Notes (MTN) KASJ-01 Tahun 2016, atau surat utang jangka menengah senilai Rp60 miliar.
Setelah setahun berlalu, dampaknya masih belum terasa terhadap kinerja ASJ. Seperti dikatakan oleh General Manager ASJ Asep Murod, pihaknya masih membayar bunga tahap kedua pada awal Desember ini. “Pada tahun kedua nanti, kami baru bisa memetik hasilnya, ketika MTN jatuh tempo,” ujarnya saat dihubungi PELUANG pekan lalu. Penerbitan MTN tersebut ditujukan untuk investasi pengembangan usaha koperasi khusus dalam bidang penyediaan perumahan bagi anggota.
Disandingkan dengan gebrakan Kospin Jasa yang menyorong PT JMA ke lantai bursa, aksi ASJ agaknya lebih heroik karena yang secara riil masuk pasar modal adalah langsung atas nama koperasi. “Treatment-nya beda, Kospin Jasa maju atas nama PT sementara kami maju dengan nama Koperasi, tetapi apapun hasilnya saya kira ini adalah milestone bagi koperasi di Indonesia yang selama ini hanya diidentikkan dengan klaster usaha kecil,” ujarnya. MTN merupakan program kerja unggulan Koperasi ASJ berdasar hasil keputusan Rapat Anggota Tahunan 2014.
Lantaran citranya yang hanya sekelas dengan usaha kecil menengah, maka wajar jika orang lantas sinis dengan kabar koperasi gelar IPO.
Selain tidak adanya benchmarking koperasi sukses listing di bursa saham, kalangan investor umumnya masih tidak percaya dengan kinerja koperasi di Indonesia. Celakanya, hingga kini belum ada lembaga rating yang mau menyigi kinerja perkoperasian sehingga publik sulit menilai mana saja koperasi unggul dan mana yang abal-abal.
TIDAK MENGENAL SAHAM
Kendati BEI maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyambut baik aksi koperasi go public, namun tetap ada keraguan bahwa langkah tersebut masih sulit untuk diikuti oleh koperasi lainnya. Pasalnya, regulasi perkoperasian memang tidak mengenal istilah saham.
Tetapi bukannya tidak mungkin. “Sepanjang instrumen dan regulasinya dikaji lagi, saya kira koperasi masuk pasar modal bukannya mustahil,” kata Direktur Utama PT Bank Bukopin Tbk Glen Glenardi. Menurut dia, sebenarnya regulasi di pasar modal sudah dapat mengakomodir kehadiran koperasi. Masalahnya justru di perkoperasian itu sendiri yang sampai kini tidak mengenal sistem saham. Karenanya instrumen yang dapat mengakomodir koperasi di bursa saham salah satunya adalah obligasi.
Jika dilihat dari pertumbuhan koperasi yang kini semakin maju dengan aset dan omset triliunan rupiah, menurut Glen, sudah harus ada regulasi baru yang membuat koperasi leluasa mengembangkan usaha. “Koperasi jual saham kan rada aneh, karena sejak awal sudah dimiliki oleh banyak orang yaitu para anggotanya. Kalau koperasi masuk bursa berarti harus dibuatkan aturan barunya,” tutur Glen.
Masalahnya akan lain apabila Mahkamah Konstitusi tidak menganulir UU No 17 Tahun 2012 tentang Koperasi. Dalam UU yang dihujat pro kapitalis itu, koperasi dimungkinkan menjual saham, yaitu dengan adanya Sertifikat Modal Koperasi, instrumennya identik dengan surat berharga atau saham. Kelahiran UU No 17 Tahun 2012 menurut Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Aries Mufti, memang di setting untuk menggiring bisnis koperasi lebih ke tengah. Artinya, koperasi tidak melulu puas berdagang dengan anggota tetapi juga perlu menimbang masyarakat di sekitarnya yang non-koperasi. “Di sejumlah negara maju, koperasi jual saham, biasa saja tuh. Di Indonesia masih belum diterima karena memang tidak ada ketentuan yang mengatur hal tersebut.
Hal senada diungkapkan oleh Wakil Ketua Induk Koperasi Kredit (Inkopdit) Abat Elias yang mendukung langkah Kospin Jasa masuk lantai bursa. “Di Eropa, banyak koperasi melakukan spin-off dan akan menjadi satu holding. Mudah-mudahan di Indonesia akan membuka hal seperti itu dan diawali oleh Kospin Jasa,” harapnya.
Sepakat dengam Glen dan Aries Mufti, Abat juga menyarankan agar pemerintah menyiapkan regulasi yang memungkinkan koperasi masuk pasar modal. “Saat ini secara teori koperasi bisa masuk ke pasar modal namun secara implementasi harus ada beberapa kebijakan dan regulasi yang disesuaikan, dan ini kerja bersama OJK, Bursa Efek Indonesia dengan Kemenkop & UKM,” sambung Aries Mufti.
Kendati tidak menegaskan kesetujuannya dengan UU No 17 Tahun 2012 namun menurut Aries, UU yang batal itu dapat mengendalikan laju perkoperasian yang dinilai kian lepas dari prinsip jati dirinya. Dia mengaku bangga dengan munculnya sejumlaha koperasi tetapi ia tak bangga jika yang tumbuh besar itu hanya Konglokoperasi, yaitu koperasi yang keuntungannya hanya dinikmati segelintir anggota saja. “ Kini banyak tumbuh konglokopeasi, koperasi yang secara manajemen bagus, aset dan omset ratusan miliar hingga triliunan dan SHU nya juga besaar. Tetapi kan menciderai prinsip koperasi jika hanya dinikmati oleh puluhan anggotanya saja karena yang lain cuma calon anggota. Dalam UU No 17 Tahun 2012 yang dibatalkan hal seperti itu tidak dibolehkan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa digugat he..he..he,” tukasnya
Nada satir koperasi masuk pasar modal terlontar dari pengamat koperasi Revrisond Baswir. Langkah tersebut menurutnya akan mengubah secara perlahan bentuknya menjadi setengah koperasi atau menjadi bukan koperasi sama sekali. Jadi sebaiknya dilupakan saja, tidak usah diimpikan. Koperasi di Indonesia tinggal namanya saja, Koperasi kredit (Credit Union) yang sering dibanggakan sebagai koperasi genuine, pelan-pelan juga mulai kemasukan kapitalisme,” tuturnya.Di tengah ketiadaan undang-undang koperasi yang legal, lanjut dosen Universitas Gajah Mada ini, sulit membahas kondisi perkoperasian yang sudah mulai rusak sejak lahirnya UU Koperasi No 12 Tahun 1967. (Irsyad Muchtar)