Frasa “Nekad” dan “Berani” adalah dua hal berbeda. Namun tindakan dan hasil akhirnya bisa sama, sukses atau gagal. Yang membedakan keduanya adalah pada niat awal. “Berani” sudah lahir sejak dari pikiran, sementara “Nekad” muncul dari tindakan spontan bahkan sering tanpa perhitungan. Tentang mereka yang nekad itu kita teringat pada para pemuda yang di pagi buta 16 Agustus 1945 menculik Soekarno-Hatta, menyembunyikannya di Rengasdengklok. Mereka, anak-anak muda yang tak sabaran itu kecewa terhadap keraguan Seokarno-Hatta untuk menyatakan Indonesia merdeka. Tindakan nekad itu toh bisa juga sukses, karena esoknya kendati masih berada di bawah ancaman penjajah Jepang, Indonesia baru yang bebas dari penindasan asing diproklamirkan. Keberanian bercampur nekad itu berkumandang di seantero pelosok negeri, ‘Merdeka’ atau ‘Mati’.
Kita tidak akan bertikai dengan catatan sejarah yang telah membisu itu, yang ingin kita pertegas adalah sebuah refleksi, bahwa orang-orang besar di masa lalu bisa lahir dengan banyak cara. Ada Pemberani, Penakut, Nekad dan banyak pula yang mencla-mencle.
Nama Thariq Bin Ziyad bisa ditoreh dengan tinta emas sejarah sebagai pemimpin yang berani sekaligus nekad ketika menyerbu Spanyol pada tahun 711.
“Ulangi sekali lagi panglima, ” saat pasukan Tariq mendarat di Semenanjung Iberia. Prajurit itu meminta penjelasan ulang lantaran tak yakin Thariq memerintahkan pasukannya membakar semua kapal yang membawa mereka dari Tangiers, Afrika Utara. Dalam sejarah versi Barat, Thariq disebut sebagai pemimpin nekad yang memberi perintah agak ‘sinting’ itu.
“Di belakang kalian lautan dan musuh di depan. Kalian tidak akan mungkin selamat kecuali dengan pedang kalian.” Kutbah singkat Thariq membakar semangat juang pasukannya sebelum berhadapan dengan sejumlah besar tentara Andalusia yang dipimpin langsung ole hRaja Roderick.
Maka, pertempuran tak seimbang pun dimulai. 12 ribu tentara Islam pejalan kaki, invanteri, menghadapi 100 ribu tentara Gothic Kristen berkuda, kavaleri, dengan senjata lengkap. Di atas hitungan kertas, pasukan Tahriq bakal memasuki ladang pembantaian. Roderick bahkan datang dengan membawa tali temali. Senyumnya terus mengembang karena yuakin pertempuran bakal dimenangkan dan tentara Islam yang kalah akan diikat untuk dijadikan budak. Namun sejarah mencatat peristiwa di Lembah Barbate, pada Ramadhan 19 Juli 711, Semenanjung Iberia itu sebuah kemenangan tentara Islam paling dramatis dan monumental. Keberanian bercampur nekad Thariq bin Ziyad tak mampu dianalisis oleh kalangan Barat, lalu muncullah kisah tentang pembakaran kapal-kapal itu.
Pemimpin dengan strategi dan taktik nekad seperti Thariq bin Ziyad memang fenomenal tidak banyak jumlahnya di atas bumi ini. Keberaniannya bisa kita sandingkan dengan Julius Caesar saat menyeberangi sungai Rubicon di tahun 49 SM. Hukum Romawi kala itu melarang semua jendral menyeberangi sungai di utara Italia itu dengan pasukan siaga. Pelanggaran terhadap larangan itu sama artinya dengan menyatakan perlawanan di internal militer. Caesar tahu risiko yang dihadapi. “ Alea Iacta Est,” ujarnya. Dadu telah dilempar, dan perang saudara pecah.
Pemimpin yang berani dan bijaksana tentu hati-hati mengambil tindakan karena berimplikasi pada kenyamanan publik. Yang rada apes kalau kita punya pemimpin peragu, inkonsisten. Jika ini yang terjadi, mengutip Ronggowarsito, kita tengah memasuki Kalatida, sebuah zaman yang penuh keraguan. Tidak jelas lagi antara yang benar dan salah karena pisau keadilan semakin tumpul dan akal sehat diremehkan. Seusai Kalatida tibalah Kalabendu, zaman ketika pemimpin kehilangan wibawa dan kata-katanya tidak lagi dipercaya. Di zaman ini, lantaran ketidakadilan didewakan, maka korupsi tumbuh merata, ulama mengkhianati kitab suci, penguasa lalim tak bisa ditegur, dan kemewahan dipamerkan. Di tengah ketidakpastian itu, orang-orang di pinggiran masih terus berharap bahwa sebentar lagi zaman akan berganti, pemimpin baru yang lebih tegas, berani dan nekad membakar kapal-kapal perangnya seperti Thariq bin Ziyad segera tiba. Karena kita lelah dengan inkonsisten itu.
(Irsyad Muchtar)