hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Bedouin

SELASA, 6 Oktober 1981. Di tengah parade militer perayaan kemenangan Mesir (atas Israel). Sekelompok perwira muda fanatik sekonyong-konyong menyerbu podium kehormatan. Mereka memberondongkan peluru ke tubuh Anwar Sadat. Bukan tembakan salvo, memang. Dan sang presiden ketiga Mesir tewas di TKP, dalam sorotan sejumlah stasiun tv internasional yang tayang live meliput prosesi kenegaraan itu. Dunia terhenyak, tersentak.

Pelakunya Khaled Islambouli, letnan militer pengawal Sadat bermata bengis. Ia anggota organisasi Jihad Islam, pembangkang Perjanjian Camp David, 1979, yang difasilitasi Jimmy Carter. Khaled memaknai inisiatif damai ala Sadat dengan zionis Yahudi sebagai blunder serius. Sadat dianggap ingkar menegakkan syiar agama. Dan berondongan peluru dari senapan Kalashnikov itu seutuhnya mewujudkan misi suci mereka.

Salahkah Sadat? Benar dan salah menjadi nisbi di latar politik. Ia bukan hitam putih seperti ajaran moral atau agama. Benar dan salah, atau kalah dan menang, bisa ditafsirkan dalam konteks budaya, seperti ditulis Ibnu Khaldun (1332-1406). Pada awalnya adalah Badawah atau Bedouin, sebutan sekelompok masyarakat nomaden. Mereka menekan kelompok yang hidup lebih mapan, kaum Hadarah. Dalam terminologi Khaldun, Hadarah dan Badawah itu dikotomis, saling menegasikan. Tatkala Badawah sukses hidup mapan, ia pun menjadi Hadarah baru. Maka, ketegangan dan bentrokan menghasilkan siklus kebangkitan dan keruntuhan dinasti.

Saat dorongan saling mengalahkan dalam pergulatan eksistensi kelompok sedemikian kuat, benar dan salah pun kian nisbi. Seperti yang kini berlangsung di negeri kita. Akibat kuatnya dorongan neoliberialisme, sektor industri diagungkan jadi mesin pendorong modernisasi. Adapun sektor pertanian, yang punya daya serap tenaga kerja relatif besar, hanya faktor marjinal. Tak perlu kecewa jika usaha ekonomi rakyat bernama koperasi nyaris tak mendapat tempat.

Posisi koperasi—sejak pra kemerdekaan, Orla, Orba, hingga pemerintahan SBY—praktis tidak berubah. Sekadar lembaga ekonomi sosial rakyat yang lebih suka meminta bantuan ketimbang bersaing dengan akses yang sama. Kesalahan terbesar (sebagian orang menyebutnya kebenaran) adalah ketika Orde Reformasi membuka tumbuhnya koperasi secara bebas tanpa batasan usaha yang tegas.

Pokoknya, kata Menteri Koperasi waktu itu, biarkan rakyat tumbuh dengan pilihan ekonomi bebasnya, dan pemerintah memfasilitasi dengan kucuran dana besar. Iming-iming itu ibarat menyodorkan gudang gula yang mengundang jutaan ekor semut. Maka munculah aneka koperasi dengan usaha yang sama, mengambil bantuan kredit murah pemerintah. Ada koperasi Wanita, ada koperasi Pemuda, Koperasi Masjid dan mungkin juga koperasi Gereja dan Wihara, yang basis usahanya menyalurkan minyak goreng . Bagaimana mungkin? Begitulah fakta sejarah.

Kini, gerakan koperasi tengah jatuh tertimpa tangga pula. Organisasi gerakan koperasi bernama Dekopin, yang diharapkan tampil menyuarakan ekonomi rakyat, justru tengah kehilangan perannya yang signifikan. Solidaritas sosial Dekopin belakangan menjadi bias dengan munculnya kelompok yang saling mengklaim sebagai pihak yang berhak memimpin Dekopin. Sebab, kata Khaldun, ashabiyah dapat bernilai buruk atau baik bergantung pada tujuan penggunaannya.

Banyak pemimpin kehilangan ashabiyah setelah menderita kekalahan, yang lainnya justru memperoleh ashabiyah pascakemenangan. Apakah makna kalah dan menang atau benar dan salah dalam konteks ini ? Jika kita sulit mencari jawab, coba ingat kembali pesan Gandhi: musuh itu tidak ada, yang ada hanyalah saudara yang berbeda pendapat, yang dipimpin Letnan Khaled.

pasang iklan di sini
octa forex broker