OJK mengklaim perbankan nasional masih aman dari dampak rontoknya Silicon Valley dan Signature Bank. Kecukupan likuiditas, permodalan dan risiko yang terjaga dengan baik menjadi indikator dari sikap optimisme tersebut.
Hanya dalam waktu sekejap, Silicon Valley Bank (SVB) yang merupakan bank terbesar ke 16 ditutup oleh otoritas lembaga penjamin simpanan Amerika Serikat pada 10 Maret 2023. Dua hari kemudian, giliran Signature Bank yang memiliki aset sebesar US$10,36 miliar dan tercatat sebagai bank terbesar ke 30 di AS gulung tikar.
Kontan saja, kolapsnya SVB dan Signature Bank yang menyediakan pembiayaan untuk hampir setengah dari perusahaan rintisan teknologi dan layanan kesehatan AS itu menggoncang pasar keuangan global. Dunia khawatir krisis keuangan 2008 akan terulang.
Namun demikian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menepis dampak tumbangnya SVB yang didirikan pada 1983 itu akan merontokan stabilitas perbankan Indonesia. “Penutupan SVB diperkirakan tidak akan berdampak langsung pada perbankan Indonesia. Yang tidak memiliki hubungan bisnis, faculty line maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae dalam pernyataan persnya, 13 Maret 2023 di Jakarta.
Terlebih anatomi perbankan Indonesia tidak sama dengan SVB dan Signature Bank. Di sini, perbankan tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan rintisan teknologi maupun kripto.
OJK memastikan saat ini kondisi perbankan Indonesia menunjukkan kinerja dan likuiditas yang baik. Permodalan dan profitabilitas juga masih tumbuh positif. Selain itu risiko kredit dan risiko pasar masih terjaga dengan baik. Oleh karenanya publik tidak perlu panik dengan tumbangnya SVB.
“Saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori ‘Bank Dalam Resolusi’. Yaitu Bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan,” tegas Dian.
Data OJK mencatat rasio likuiditas dibanding non core deposit (AL/NCD) dan rasio likuiditas dibanding dana pihak ketiga (AL/DPK) di atas threshold, yakni sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi DPK didominasi oleh dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Seperti diketahui, Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) AS menutup SVB setelah bank itu mengumumkan akan menjual sebanyak US$2,25 miliar saham baru untuk menopang kecukupan modalnya. Setelah pengumunan tersebut, nasabah SVB beramai-ramai melakukan penarikan dana besar-besaran. Bank SVB pun makin kesulitan likuiditas dan akhirnya dinyatakan ditutup.
Menurut FDIC, pada akhir tahun lalu SVB termasuk di antara 20 bank komersial Amerika teratas dengan total aset sebesar US$209 miliar. Robohnya SVB dinilai merupakan imbas dari kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) oleh The Federal Reserve secara agresif sebagai respons kenaikan inflasi. Suku bunga yang tinggi itu menyebabkan penurunan nilai obligasi jangka panjang yang dimiliki SVB dan bank lain.
Terlebih struktur aset SVB mayoritas ada di obligasi pemerintah (US Treasuries atau UST) yang dinilai memiliki risiko kredit rendah. Mayoritas UST ini memiliki tenor panjang sehingga harga atau nilai nya lebih sensitive terhadap perubahan suku bunga. Kenaikan FFR menjadi sekitar 4,75% menyebabkan nilai pasar UST terus turun akibatnya terjadi Unrealised loss pada obligasi yang dipegang SVB.
Pada sisi lain, pasar Venture sedang mengalami masalah akibat tren kenaikan suku bunga tersebut. Ini mendorong banyak startup menarik dananya dari SVB untuk memenuhi kebutuhan operasional. Karena kondisi likuiditas bank tidak baik, sementara lebih dari 50% asetnya adalah UST yang sedang mengalami unrealised loss.
Untuk mendapatkan dana, SVB terpaksa menjual UST sehingga merealisasikan kerugian dan mengakibatkan modal tertekan. Ini mendorong mereka untuk mencari suntikan dana namun akhirnya tidak terpenuhi.
Dunia pantas merasa cemas dengan ambruknya SVB mengingat jaringannya yang tersebar di beberapa negara seperti Inggris, Denmark, Jerman, India, Israel dan Swedia. Menyusul penutupan SVB di AS, otoritas Inggris meresponsnya dengan menyatakan unit SVB bangkrut, telah berhenti beroperasi dan tidak lagi menerima nasabah baru. Sementara usaha patungan SVB di China, SPD Silicon Valley Bank Co, berusaha menenangkan nasabahnya.
Sementara keruntuhan Signature Bank yang mulai beroperasi pada 2001 disebabkan kekhawatiran nasabah atas eksposur Bank terhadap kripto meningkat setelah SVB runtuh. Nasabah yang sebagian besar merupakan perusahaan rintisan merasa lebih nyaman menyimpan dana di bank raksasa seperti JP Morgan Chase & Co.
Besarnya aset SVB dan Signature Bank mendorong Federal Reserve dan Departemen Keuangan AS untuk mengambil langkah luar biasa dengan menunjuk kedua bank gagal tersebut sebagai risiko sistemik terhadap sistem keuangan. Oleh karenanya, mereka memberikan fleksibilitas regulator untuk mendukung simpanan yang tidak diasuransikan.
Meski OJK sudah menyatakan perbankan di Indonesia aman-aman saja dari dampak kebangkrutan SVB dan Signature, namun langkah waspada dan kehati-hatian perlu terus dilakukan. Sebab, selain aspek teknikal yang bisa diprediksi, ada aspek psikologis di pasar keuangan yang rentan menimbulkan gejolak. (Kur).