Sampai sepertiga abad silam, produksi ikan kota ini hanya kalah dari Kota Bergen, Norwegia. Dari galangan kapal tradisionalnya dihasilkan perahu masyhur berukuran 300 ton, yang diminati banyak negara.
LETAKNYA di muara Sungai Rokan, di pesisir utara Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Bagansiapiapi disebut juga Baganapi. Lokasi kota ini strategis karena berdekatan dengan Selat Malaka sebagao lalu lintas perdagangan internasional. Selain ibu kota Kabupaten Rohil, Bagansiapiapi sekaligus ibu kota Kecamatan Bangko.
Kata ‘bagan’ mengandung makna tempat, daerah, atau alat penangkap ikan (yaitu bagan, bagang, jermal); sedangkan api berasal dari nama pohon Api-api yang banyak tumbuh di daerah pantai. Dengan infrastruktur kota yang memadai, Bagansiapiapi resmi menjadi ibu kota Kabupaten Rokan Hilir pada 24 Juni 2008. Warga Bagansiapiapi dikenal sebagai Orang Bagan, yang di dalamnya mencakup beragam suku. Di antaranya Melayu, Batak, Jawa, Hokkian, Tiociu, Hakka dan Hainan. Istilah ‘bahasa Bagan’ sering merujuk pada Bahasa Hokkian yang digunakan warga Tionghoa setempat. Bahasa Hokkian Bagan kental dengan nuansa Tionghoa murni tanpa campuran dengan bahasa Indonesia, sehingga mirip dengan bahasa Hokkian yang dipergunakan di Xiamen, Jinmen (Kim-men), dan Taiwan.
Orang Tionghoa sudah mukim di sini sejak 1860, menurut PN van Kampen. Versi lain menyebut, mereka datang pada 1875, saat sejumlah bajak laut tiba di Bagansiapiapi. Menurut sumber lain, jauh menjelang Kaisar Tongzhi (1862-1874), yaitu di era Dinasti Qing, Hong Shifan dan 10 kawannya dari Distrik Tong’an, Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan, datang ke kota ini dan mengembangkan usaha perikanan. Hasil cacah jiwa 1930 menunjukkan, dari 9.811 orang Tionghoa yang bekerja di sektor perikanan di seluruh Hindia Belanda, 54,7 % berada di Sumatera Timur (terutama di Bagansiapiapi). Menurut statistik lainnya tahun 1928, sebagian besar dari 400-an usaha penangkaran ikan di pelabuhan itu milik orang Tionghoa.
Komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi umumnya suku Hokkian, yang sebagian besar leluhurnya berasal dari Distrik Tong’an (Tang Ua) di Xiamen, Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Komunitas Tionghoa lainnya di Bagansiapiapi dengan jumlah cukup signifikan adalah berasal dari suku Tiociu, sebagian kecil lainnya dari suku Khek (Hakka), Hailam (Hainan) dan Konghu. Eksistensi komunitas Tionghoa mudah dilacak dari banyaknya kelenteng di samping berbagai perkumpulan marga Tionghoa, lengkap dengan kelentengnya masing-masing.
Sektor-sektor utama yang menjadi penggerak roda perekonomian Kota Bagansiapiapi di antaranya sektor pertanian, kelautan, budidaya burung walet, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata dan perbuatan yang berguna keuangan. Pertanian tanaman pangan, terutama sayuran, buah-buahan, dan padi.
Tanaman perkebunan merupakan komoditi yang cukup potensial di kawasan ini adalah kelapa sawit, karet dan kelapa.
Sangat jamak ditemukan, terutama di pusat kota, ruko-ruko dibangun 3 sampai 4 tingkat. Tingkat teratas ‘dialokasikan’ sebagai tempat budidaya burung walet, hanya tingkat 1 dan 2 yang digunakan sebagai toko dan tempat tinggal. Pada 2012, di Kecamatan Bangko terdapat 900 tempat usaha budidaya burung walet.
Produksi perikanan di Bagansiapiapi umumnya berasal dari perikanan laut. Selain ikan segar, produk yang dihasilkan dari sektor perikanan di antaranya yaitu ikan asin, ebi (udang kering), terasi, dan olahan ikan lainnya.
Usaha galangan kapal di Bagansiapiapi sudah berusia ratusan tahun. Dewasa ini, usaha tersebut berpusat di kawasan Pelabuhan Baru Bagansiapiapi, dengan bahan baku utama dari kayu. Kapal yang dihasilkan pun berbagai ukuran, dari yang kecil sampai berkapasitas 300 ton.
DI MASA lalu, kota ini terkenal sebagai penghasil ikan terpenting, sehingga dijuluki ‘Kota Ikan’. Beberapa sumber mencatat, di antaranya surat kabar De Indische Mercuur pada tahun 1928, Bagansiapiapi adalah kota penghasil ikan terbesar kedua di dunia, setelah Kota Bergen, Norwegia.
Dalam perkembangannya, industri perikanan mendongkrak Bagansiapiapi tumbuh jadi kota modern. Pada tahun 1934, Baganapi sudah memiliki fasilitas pengolahan air minum, pembangkit tenaga listrik dan unit pemadam kebakaran. Berkat kemajuan pesat yang dicapainya, Bagansiapiapi disebut ‘Ville Lumiere’ (Kota Cahaya). Pekanbaru yang kini menjadi ibu kota Provnsi Riau bahkan kalah jauh bukan tandingannya di waktu itu.
Berton-ton ikan, mulai dari ikan basah segar, ikan atau udang kering, ikan asin atau terasi, diekspor dari kota ini ke berbagai tempat. Dalam satu tahun, hasil tangkapan ikannya bisa mencapai 150.000 ton. Ekspor hasil laut berkembang menjadi salah satu pilar ekonomi rakyat. Bagansiapiapi menduduki papan atas di kelompok daerah penghasil ikan terbesar di dunia.
Julukan Bagansiapiapi sebagai Kota Ikan perlahan memudar. Bila sebelumnya faktor alam yang melambungkannya, kelak faktor alam pula penyebab memudarannya karena pesisir sekitar Bagansiapiapi mengalami pendangkalan dan penyempitan akibat endapan lumpur yang dibawa aliran Sungai Rokan. Menurut data Dinas Perikanan Kabupaten Rokan Hilir, pada 2000-2003, produktivitas ikan tangkap laut berkisar 70.000 ton. Pada tahun 2004 tinggal 32.989 ton. Jumlah nelayan turun dari sekitar 100 menjadi 40-an orang saja.
Selain ikan, Bagansiapiapi juga terkenal sebagai galangan kapal tradisional terbesar di Indonesia sebelum kemerdekaan. Perahu buatan Bagansiapiapi mampu menembus berbagai jenis karakteristik lautan sehingga digunakan juga di perairan Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Maluku. Di luar negeri, perahu produk masyarakat Bagan ini diminati nelayan-nelayan Srilanka, India, bahkan Amerika.
Perahu produksi Bagansiapiapi memenuhi permintaan dari yang terkecil sekitar tiga-empat ton sampai 300 ton. Galangan kapal menjamur di era tahun 1940-an hingga pertengahan tahun 1980-an. Pada masa jayanya, nama Bagansiapiapi lebih masyhur daripada Pekanbaru ataupun Provinsi Riau.
Julukan Kota Ikan lama kelamaan memudar. Bila sebelumnya faktor alam yang menjadikannya demikian dikenal sebagai penghasil ikan, kelak faktor alam pula yang menyebabkan pemudarannya secara berangsur-angsur karena pesisir sekitar Bagansiapiapi mengalami pendangkalan dan penyempitan oleh endapan lumpur yang dibawa Sungai Rokan.
Menurut data dari Dinas Perikanan Kabupaten Rokan Hilir, pada tahun 2000-2003, produktivitas ikan tangkap laut berkisar 70.000 ton/tahun. Namun, pada tahun 2004 tinggal 32.989 ton. Jumlah nelayan turun dari sekitar 100 menjadi 40-an orang saja.
Di samping hasil ikan, Bagansiapiapi juga terkenal sebagai galangan kapal tradisional terbesar di Indonesia sebelum kemerdekaan. Perahu yang dibuat Bagansiapiapi mampu menembus berjenis-jenis karakteristik lautan sehingga digunakan juga di wilayah laut Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Maluku. Di luar negeri, perahu agan diminati nelayan-nelayan Srilanka, India, bahkan Amerika.
Produk Bagansiapiapi melayani permintaan dari yang terkecil sekitar tiga-empat ton sampai 300 ton. Galangan kapal menjamur di era tahun 1940-an sampai menengah tahun 1980-an. Di masa jayanya, nama kota Bagansiapiapi lebih terkenal daripada Pekanbaru maupun Provinsi Riau. Tapi kini usaha tersebut sudah mati suri karena keterbatasan bahan baku kayu dan sederetan UU tentang Kehutanan.
Dari sektor pariwisata, event Ritual Bakar Tongkang telah menjadi ikon dan andalan pariwisata Kabupaten Rohil dan Provinsi Riau yang mampu menyedot puluhan ribuan wislok dan wisman setiap tahun. Ritual Bakar Tongkang bertujuan mengenang para leluhur orang Tionghoa yang menemukan Bagansiapiapi dan sebagai rasa terima kasih kepada Dewa Kie Ong Ya. Ritual ini dipersiapkan setiap tanggal 16 bulan kelima penanggalan Lunar (Imlek), yang dalam bahasa Hokkian disebut “Go Cap Lak”.
Perayaan Imlek di Bagansiapiapi berlanjut 15 hari sampai malam Cap Go Meh. Selama perayaan Tahun Baru Imlek, lampion beraneka bentuk dan ukuran menghiasi rumah-rumah masyarakat, perkantoran, kelenteng dan vihara, bahkan di sepanjang jalan-jalan agung di pusat kota sehingga Kota Bagansiapiapi seakan bermandikan cahaya lampion di malam hari.
Pada malam Cap Go Meh hendak berlanjut Pawai Lampion dengan lampion-lampion yang unik dari berbagai kelenteng di Baganapi. Pawai Lampion ini sekaligus yaitu Lomba Lampion untuk menentukan lampion terindah, terunik dan terbagus.
Kuliner khas Bagan yang terkenal yaitu masakan Tionghoa yang dikombinasikan dengan hasil bumi setempat. Misalnya: Kwetiau Bagan, Miso Bagan, Nasi lemak Bagan, Kari Peng’ (Nasi Kari Bagan), Ham-ke (sejenis martabak dari kerang), Wantanmi (Mi pangsit), Ke-mi (mi campur potongan mirip kwetiau), Tilongpan (mirip Cicongpan di Medan), Kiam-ke, Lolia (Rujak Bagan), O-Lua (Rujak pedas), O-Ke, O-Yi. Oleh-oleh khas kota ini di antaranya Kacang Pukul.
Para perantau Bagan pulang ke kampung halaman setahun sekali pada saat perayaan Tahun Baru Imlek, sembahyang leluhur/ziarah kubur, Festival Qingming dan Ritual Bakar Tongkang atau Go Cap Lak. Sejak 2013, plang nama jalan di Kota Bagansiapiapi ditulisi dengan menggunakan tiga bahasa, yakni bahasa Indonesia, Arab Melayu, dan Mandarin—yang diajarkan dengan giat meski dianggap melanggar kebijakan nasional pada era rezim Soeharto.●(dd)