hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

9 Dot

PERNAHKAH Anda memainkan  games  9 dot Puzzle. Biasanya games ini   sering dimainkan dalam sebuah pelatihan manajemen maupun outbond karyawan perkantoran.  Permainannya begini, master of training atau pemandu menyodorkan gambar sembilan buah titik yang ditata dalam kisi 3×3 (lihat gambar). Kemudian ia menantang peserta latihan untuk menarik empat garis lurus tanpa putus yang melewati sembilan titik tersebut.

Jika  baru pertama memainkan puzzle ini, cukup sulit menemukan jawabnya, bahkan mustahil.   Ketika pemandu membuka rahasianya, peserta spontan berkata: “O iya ya, kok gak terpikirkan oleh saya.” Komentar klise itu mirip cerita Telur Columbus. Penemu benua Amerika itu disindir bahwa siapapun bisa menemukan Amerika dengan hanya berlayar ke Barat. Columbus kemudian menyodorkan sebutir telur dan meminta mereka mendirikannya tanpa penopang. Setelah mencoba berulang kali ternyata tak seorangpun mampu melakukannya. Lalu Columbus  memecahkan sedikit bagian bawah telur itu. “Apakah kalian juga akan bilang, saya juga bisa.”  Ketika pertama mengenal 9 dot puzzle dalam sebuah pelatihan kepemimpinan mahasiswa tahun  1981, saya termasuk peserta yang berhasil memecahkan puzzle tersebut. Pemandu saya, Utomo Dananjaya mengatakan rerata dalam setiap pelatihan tak lebih dari 20 persen peserta mampu menyelesaikan 9 dot puzzle. Utomo kala itu dikenal sebagai pemandu yang gencar memiralkan    metode pendidikan alternatif. Sistem pendidikan yang ada tidak mencipatkan siswa didik siap pakai. Terjerumus dalam hapalan dan rumus-rumus yang tidak aplikatif. Melalui metode pengajaran yang disebutnya andragogi, proses belajar mengajar dapat berlangsung dialogis, guru tidak lagi sebagai pemilik kebenaran mutlak dan murid bukan sekadar gelas kosong.

9 dot puzzle yang mulai popular pada 1970-an menjadi salah satu inti permainan paling favorit dalam metode pengajaran andragogi, metode ini pertama kali digagas oleh seorang pengajar asal Jerman, Alexander Kapp pada tahun 1833. 

Beberapa waktu lalu saya mendapat tugas melatih sejumlah ibu-ibu di empat kabupaten di Banten. Mereka anggota koperasi syariah terbesar di daerah itu. Dari sebanyak 600 peserta terdiri dari 12 kelas yang saya sodori permainan 9 dot puzzle, hanya dua orang saja mampu memecahkan permainan ini. Puzzle yang sudah berumur lebih satu abad itu, sejak muncul pertama kali  dalam Sam Loyd Classic Cyclopedia of Puzzles di tahun 1914 dinilai absurd, tak terjangkau oleh nalar praktis mereka.

Inti puzzle itu sebenarnya menggali kemampuan berpikir dengan cara yang tidak biasa. Kisi 3×3 itu adalah kotak imajinasi yang kita ciptakan sendiri, di mana pikiran kita terperangkap di dalamnya. Padahal, solusinya  ada di luar kotak tersebut.    

Sebagai tips memecahkan  9 dot puzzle, jangan cuma berhenti di titik-titik itu, teruslah tarik garis hingga ke luar imajinasimu, lalu kembali lagi ke dalam kotakmu untuk menyelesaikan titik terakhir.

Mengapa hanya dua orang saja dari kaum ibu itu mampu memecahkan 9 dot puzzles? Apakah lantaran subjek pelatihan yang relatif para pemain aman (safety player) atau karena memang tidak mudah berpikir di luar kotak? Bahkan tidak jarang sebuah perusahaan yang terbilang  sukses sering gagal menemukan ide di luar kotak itu. Terjebak di kesuksesan masa lalunya sehingga  kemampuan  untuk berinovasi jadi tumpul. 

Ketika temuan teknologi berlari cepat dan kini tengah bergerak di ranah digital, gagasan berpikir out of the box tak pernah usang, frasa ini adalah esensi dari berpikir kreatif itu sendiri. Dalam perjalanan berikutnya 9 Dot puzzle bahkan bisa dilewati hanya satu garis lurus saja.

Bagaimana dengan berpikir imajinatif dan sedikit magis? Saya ajak Anda dengan satu permainan lagi. Pikirkan satu angka, misalnya X (bukan nol). Kalikan angka tersebut (X) dengan 4. Hasilnya, tambahkan dengan X. Lalu hasilnya Anda bagi dengan X.  Nah.., Anda baru saja menemukan  hasil pembagian angka terakhir, yaitu angka 5.  (Irsyad Muchtar)

pasang iklan di sini