hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

DHARMA

MEDAN perang Kurukhsetra, memasuki hari ke lima belas. Sekilas Arjuna menatap kedua pasukan yang segera saling bunuh itu. Pasukannya sendiri dan pasukan musuh, sepupunya, para Kurawa. Sejak terompet perang pertama ditiup pertempuran dua keturunan Bharata – konon terjadi 5000 tahun lalu- sudah merenggut  ratusan ribu nyawa. Kedua kubu yang berebut tahta kekuasaan itu memang punya pengikut dan simpatisan masing-masing. Dan tentu saja kemenangan yang akan diraih bakal ikut serta melanggengkan posisi dan kuasa mereka.

Bagi Arjuna yang welas asih, perang itu terasa absurd. Tidak jelas, apakah para simpatisan itu mati sia-sia atau mati terhormat sebagai ksatria. Untuk apa mereka harus mengorbankan nyawa demi hanya melanggengkan pemimpin yang haus kuasa.  Hatinya luruh, ia tak hendak lagi mau berperang. Heinrich Zimmer dalam bukunya The Philosopy of India menulis, di tengah medan laga itu Arjuna berada dalam posisi sebagai seorang panglima perang  yang bingung. Dia tak sanggup lagi mengangkat senjata setelah menyaksikan musuh-musuh yang diperanginya adalah keluarga sendiri, Kakeknya Bisma, saudaranya Karna, 100 kurawa dan gurunya sendiri Drona.

Di tengah kebimbangan itu, sang awatara Kreshna,  sais kuda perang Arjuna menyela tentang dharma. Perannya sebagai ksatria tidak boleh mundur dari medan perang dan tidak pula luruh menegasikan kebenaran lantaran bisikan rasa belas kasihan. Lalu mengalunlah pitutur Bhagavat Gita yang termasyur itu, nyanyian dewa suci di tengah medan perang Bharatayudha. Kreshna diyakini sebagai dewa suci dari esensi supradunia yang turun ke bumi untuk menyelamatkan umat manusia. “Kamu tidak boleh merasa kasihan,” kata Kreshna. Tidak ada tempat bagi belas kasihan dan bagi orang-orang bijak tidak ada rasa kasihan atas kematian dan kehidupan.

Tidak mudah memahaminya, berulang kali Arjuna diterpa bingung. Namun dia kemudian dapat menangkap esensi dharma itu sebagai peran yang harus dilakoninya. Dharmanya sebagai ksatria adalah menegakan kebenaran kendati harus membunuh keluarga dan sahabatnya sendiri. Dalam konteks pencapaian kebenaran itu membunuh dalam peperangan adalah keniscayaan. Makna antara kehidupan dan kematian dalam Bhagavat Gita adalah hak para dewa, tak tersentuh oleh yang propan. Lantaran itu Arjuna kembali masuk ke medan laga Kurukhsetra, hatinya lapang untuk menyelesaikan dharmanya.

Ada yang tercerahkan setelah membaca Bhagavat Gita. Esensi pesannya gamblang dan langsung menyasar pada pokok persoalan yang dihadapi konflik antara manusia dan kekuasaan. Kita tidak tahu apakah Niccolo Machiavelli juga menyimak Bhagavat Gita ketika menulis II Principe. Buku tentang moral dan politik itu memisahkan antara agama dan moralitas sebagai antitesis sebuah keputusan politik. Untuk kepentingan negara dan pemerintahan, kata negarawan Itali yang hidup di abad ke XVI itu, semua tindakan adalah halal. Dan politik adalah seni untuk mengelola pelbagai kemungkinan.

Hari ini, ketika ribuan poster dan wajah para Machiavellian terpampang di jalan-jalan ibu kota, kabupaten hingga pelosok desa, kita memang tengah menyaksikan sebuah warisan tentang ajaran politik dan negara. Nun jauh di sana, di India kita kembali teringat Mahatma Gandhi yang  tengah berjalan menuju desa-desa di Naokhali. Ia selalu tak abai membawa alat pintal sederhana, Bhagavad Gita, Al-Quran dan kitab tentang Yesus. Karena kebenaran harus ditemukan sekalipun melalui kitab suci orang lain.  (Irsyad Muchtar)

pasang iklan di sini