hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

UMKM Dibegal E-Commerce?

Sentimen antiasing sempat menyeruak yang dipicu pernyataan Presiden Jokowi pada awal Maret lalu yang menyerukan agar mencintai produk dalam negeri sembari membenci produk asing. Ini terkait dengan perdagangan barang di platform dagang digital (e-commerce).

Tak lama setelah Presiden membuat pernyataan, Menteri Perdagangan M. Lutfi menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Presiden adalah praktik yang tak sesuai ketentuan perdagangan barang konsumsi. Praktik yang biasa disebut predatory pricing atau banting harga itu dinilai telah membunuh produk UMKM lokal.

Selanjutnya, di jagat dunia maya, tagar #ShopeeBunuhUMKM sempat menjadi trending. Ya, platform Shopee dibawah bendera SEA Group Indonesia (pemilik Shopee Indonesia) dimana Presiden Komisarisnya adalah Pandu Syahrir,  keponakan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan itu dituding sebagai e-commerce yang paling getol menjual produk asing terutama dari China.

Pihak Shopee sendiri sudah mengklarifikasi tudingan tersebut. Mereka mengklaim bahwa 98,1% dari empat juta penjual aktif di platform merupakan UMKM. Hanya 0,1% yang merupakan pedagang lintas negara. Produk dari penjual lokal masih mendominasi yakni 97%. Secara rinci, penjualan produk UMKM di dalam ekosistem 71,4%, lintas negara 3%, dan sisanya pedagang besar lokal.

Namun pada 2019, Kementerian Perindustrian pernah merilis data bahwa 90% produk yang dijual di e-commerce merupakan barang impor. Kementerian Perdagangan pun pernah mengatakan hal yang sama, satu tahun sebelumnya.

Mendag M. Lutfi punya data mengenai praktik banting harga tersebut. Dalam rilis pers, Mendag membeberkan cerita tentang perusahaan multinasional di bidang perdagangan digital secara nyata telah membunuh UMKM lokal.

“Ada sebuah tulisan yang dikeluarkan lembaga internasional dunia tentang cerita bagaimana hancurnya kegiatan UMKM terutama di fashion Islam yang terjadi di Indonesia. Pada 2016-2018, sebuah industri rumah tangga mempunyai kemajuan yang luar biasa menjual hijab dan industri tersebut mempekerjakan 3.400 pekerja yang ongkosnya lebih dari US$ 650 ribu dollar/tahun,” ujar Lutfi.

Kemajuan industri rumahan dalam negeri itu tidak lepas dari radar industri asing. Besarnya pasar Indonesia dengan jumlah kaum muslim terbesar di dunia membuat negara asing, yakni China tertarik. Jahatnya, e-commerce yang seharusnya menjadi penengah justru membocorkan rahasia industri dalam negeri ini ke perusahaan China.

Ketika industrinya maju di 2018 kemudian tersadap oleh artificial inteligence yang digunakan oleh perusahaan digital asing, kemudian disedot informasinya dan kemudian dibuat industrinya di China, lalu diimpor barangnya ke Indonesia. “Mereka bayar USD44 ribu sebagai bea masuk tapi menghancurkan industri UMKM tersebut. UMKM ini biaya gajinya 1 tahun lebih dari USD650 ribu, sedangkan bea masuk mereka US$44 ribu dan hal tersebut jadi suatu tren,” ungkap Lutfi.

Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah mengatakan, praktik banting harga biasanya dilakukan perusahaan besar. Awalnya mereka menjual sangat murah untuk mematikan pesaing. Setelah pesaing tumbang, maka perusahaan tersebut dapat menaikkan harga jual sesuka hati.

Ditinjau dari sisi regulasi, sebenarnya sudah ada beberapa peraturan yang berupaya mencegah derasnya barang impor.  Peraturan tersebut antara lain Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199 Tahun 2019 yang menurunkan ambang batas bea masuk barang kiriman dari USD75 (Rp1,06 juta) menjadi USD3 (Rp42 ribu). Akibatnya, barang impor di atas USD3 dikenakan pajak 17,5%. Ini terdiri dari bea masuk 7,5%, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%, dan Pajak Penghasilan (PPh) 0%.

Kementerian Koperasi dan UKM pun telah menegaskan komitmennya untuk  mengembangkan UMKM dan mendorong produk lokal. Dalam sebuah kesempatan, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, Kemenkop dan UKM berkomitmen melindungi kepentingan nasional yaitu UMKM. Jika diperlukan, Kemenkop akan mendorong diterbitkannya kebijakan pemerintah untuk melindungi UMKM dari praktik perdagangan yang tidak adil.

Terlepas dari perbedaan data barang impor di e-commerce antara Pemerintah dengan pelaku industri nyatanya kue perdagangan barang digital di Indonesia sangat gurih.  Bank Indonesia mencatat, transaksinya pada tahun lalu mencapai Rp266,3 triliun, atau meningkat sangat signifikan dibanding tahun 2017 sebesar Rp42,2 triliun. Legitnya pasar transaksi digital ini membuat banyak investor asing di sektor platform digital berlomba-lomba untuk merambah domestik.

Ke depan, kegeraman Presiden terhadap praktik banting harga dan banjirnya barang impor via e-commerce tersebut seharusnya menjadi momentum untuk membenahi UMKM agar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Oleh karenanya, diperlukan keseriusan dan konsistensi Pemerintah mendorong kejayaan produk dalam negeri atas barang impor.

Dalam era disrupsi digital, tidak cukup dengan imbauan ala film Aku Cinta Indonesia (ACI) era 90-an. Apalagi terjadi pergeseran perilaku konsumen dalam berbelanja yang lebih impor oriented. Merujuk survei Katadata Insight Center (KIC) tahun lalu, sebanyak 34,2% konsumen menyukai pakaian impor. Sedangkan 42,9% menggemari sepatu impor. Bahkan, 61,7% responden memilih barang elektronik impor. Selain itu, 75,4% menyukai gadget buatan luar negeri ketimbang lokal.

Momentum penguatan UMKM tidak cukup hanya diserahkan kepada Kemenkop UKM yang anggarannya saja sangat terbatas, Ibarat sepakbola, diperlukan taktik Total Football yang melibatkan seluruh pemain untuk mencetak gol ke gawang lawan. Penguatan UMKM perlu dilakukan secara terintegrasi oleh seluruh Kementerian yang dipimpin langsung oleh Presiden. Sebab, problematika yang dihadapi UMKM untuk bisa menguasai pasar digital itu kompleks, mulai dari pengetahuan digital, kemasan produk, pembiayaan sampai urusan perpajakan.   Itu jika kita memang serius membenahi UMKM dan bukan sekadar anget-anget tahi ayam.

pasang iklan di sini