BANDUNG—Awalnya Yasundari Rani Kartawiria hanya menikmati teh khas negeri gajah putih, yang disebut Thai Tea. Hingga lima tahun yang lalu masih jarang orang yang menjual Thai Tea di Kota Bandung.
“Suatu hari ketika ingin minum Thai Tea, penjual langganannya tidak berjualan. Pada waktu itu tercetus ide menjual Thai Tea.
Saya kemudian iseng googling cara membuatnya. Kemudian ketika dapat berkali-kali membuatnya gagal, rasanya aneh, terlalu manis. Namun akhirnya saya menemukan pas dengan selera,” tutur perempuan yang karib dipanggil Yas ini.
Setelah menemukan formula yang tepat, Yas menawarkan kepada teman-teman dan saudaranya dengan cara broadast dan membuat status. Karena setiap ia membuat bisa untuk beberapa gelas, jadi dia coba menjual.
“Ternyata responnya positif. Kemudian saya menjual di kantin, ternyata disukai. Dari coba-coba itu saya menggunakan brand yang diambil dari nama depan saya dibalik, jadi Say agar gampang diingat,” kenang perempuan kelahiran 1989 ini kepada Peluang.
Alumni Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran ini akhirnya memulai usaha Say Tea pada Juli 2013. “Boleh dibilang saya terjun di bisnis ini tidak disengaja, seperti mengikuti alur saja. Saat itu saya masih berstatus sebagai mahasiswa S-2,” kata Yas.
Modal awalnya sekitar satu jutaan rupiah. Tapi itu saat Yas masih membuat sendiri. Karyawannya hanya satu orang bertugas sebagai kurir. Modal dipakai untuk membeli bahan-bahan baku dan juga peralatan produksi kecil-kecilan.
Pada tahap awal Say Tea diproduksi belum memakai botol tapi masih menggunakan cup. Sehingga Yas bisa memproduksi sekitar 200-an cup. Produk pertama dijual di kantin ITB dulu. Beberapa bulan kemudian Yas beralih menjual produknya ke dalam botol.
Yas kemudian memasarkan secara daring (online) via instagram. Hasilnya pada awal 2014 mulai banyak pemesanan luar kota. Omzet saat itu bisa sekitar Rp15 jutaan. Seiring waktu dan kenaikan permintaan modal juga semakin bertambah bisa 20% dari omzet untuk bahan bakunya.
Say Tea masih diproduksi di rumahnya di kawasan Antapani, Bandung. Setelah memiliki karyawan, Yas lebih banyak berperan menjadi supervisor saja. Dibantu dengan suami yang kemudian terlibat dalam usaha ini.
“Saya lebih ke bagian rekap orderan dan suami saya bertugas sebagai controlling produksi,” ucap isteri dari Taupan Rinandita ini.
Dalam menjalankan bisnisnya, Yas mengaku lebih menyukai sistem penjualan ke reseller daripada konsinyasi karena reseller langsung membeli putus sehingga tidak ada resiko barang sisa atau tidak habis ya. Dari 2014 hingga 2016-an, penjualan Say Tea sudah mencapai Makassar.
“Kami belum bisa mencapai Aceh dan Indonesia Timur, karena belum ada layanan yang besoknya sampai. Omzet kami pernah mencapai Rp30 jutaan kotor, karena selain didapat dari penjualan daring(online), juga dari konsinyasi, reseller dan pesanan rutin pernikahan, Alhamdullilah,” ucapnya.
Produk Say Tea tahan satu minggu dalam suhu kulkas, dan sekitar dua minggu dengan suhu freezer. Varian produksinya, mulai dari rasa green thai tea, original thai tea, taro milk tea, matcha sensation, chocomilky, matcha sensation, minty freeze, blackforest. Itu yang ready stock. Ada juga rasa pisang, alpukat dan menggunakan pilihan dengan rasa tertentu.
Produk Say Tea-Foto: Dokumentasi Pribadi.Lanjut Yas, pada saat ini Say Tea dengan dua karyawan mencoba merambah ke kerja sama dengan katering. Yas melihat hal itu sebagai peluang untuk melebarkan bisnis, selain tetap mempertahankan reseller dan konsinyasi.
“Say Te juga sudah didaftarkan ke MUI, Diperindag dan Kemenkumham untuk hak merek. Sayangnya sampai saat ini belum ada kepastian, karena rupanya prosesnya lama. Saya juga berpikir untuk merambah produk lain, seperti kue dan pudding,” tutupnya(Irvan Sjafari).