BANDUNG—“For me, comfortable profit is enough to keep on going”. Demikian ungkapan dari desainer Jepang Yohji Yamamoto yang menjadi moto dari Fathia Pratiwi, seorang desainer busana muslimah di Bandung. Ungkapan itu berarti kalau soal materi tidak akan ada habisnya untuk dikejar.
“Konsep desain dan bisnisnya sangat cocok dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam berbisnis, bukanlah kuntungan semata yang saya cari. Lebih dari itu, benefit apa yang dapat saya rasakan dari bisnis ini, dunia akhirat, ” ujar pemilik usaha bisnis mulismah brand bernama Thia, yang diambil dari namanya sendiri.
Alumni Jurusan Plannologi ITB 2008 dan Magister Studi Pembangunan ITB 2012 memutuskan menjadi desainer dan pengusaha fashion, ketika dia bertanya kepada diri sendiri.
“Hal apa yang sangat ingin saya lakukan dengan senang hati, dan ingin saya lakukan terus menerus. Jawabannya adalah mendesain pakaian,” ungkapnya kepada Peluang, Senin (30/7/2018).
Sejak kecil Fathia menyukai dunia fashion. Waktu itu ia kerap mengikuti lomba mode cilik. Fathia senang mendekorasi bajunya sendiri dan menentukan warnanya padan memadukannya.
“Saya berhenti modeling, ketika mulai SMP saya menggunakan hijab. Sewaktu kuliah, saya mulai mendesain baju teman-teman saya. Saya carikan kainnya kepasar, kemudian saya jahitkan ke tukang jahit langganan ibu saya. Itulah awal mula saya merasa sangat menyukai dunia fashion ini,” kenangnya.
Pada 2013, Fathia memberanikan diri untuk membuka sebuah butik di Bandung, dengan brand Thia, panggilannya. Item produknya adalah from top to toe.
Thia menjual kerudung, baju, sampai sepatu. Semua didesain dan diproduksi sendiri. Segmen bisnisnya golongan menegah menjadi dengan pilihan kualitas material dan jahitan yang baik.
Pada saat itu pula, kali pertama dia mendapatkan kepercayaan untuk mendesain gaun pengantin.
“Saya ingat ketika itu saya memayet sepatu dan aksesorisnya tiap malam sampai jam 2 pagi. Karyawan jahit saya waktu itu hanya 2 orang. Tapi semua kerja kerasnya terbayar dengan hasil yang memuaskan. Dan itu membawa kegembiraan tersendiri untuk saya,” papar perempuan yang pernah belajar di Islamic Fashion Institute ini.
Dalam mendesain, Thia sering kali terinspirasi dari alam dan kehidupan manusia sehari-hari. Travelling adalah pencetus ide terbaik bagi saya. Sebagai contoh, salah satu koleksinya diberi nama Psithurism, terinspirasi dari keindahan musim gugur di Jepang.
“Elemen-elemen budaya dan warnanya saya ambil sebagai bagian dari rancangan. Waktu itu saya mengeluarkan 10 looks yang di dalamnya terdapat sepatu, dresses, tops, outerwears, skirt dan juga scarves. Bagi saya, alam, aktivitas dan bangunan adalah menarik untuk disimak dan dituangkan menjadi sebuahkarya,” tutur thia, seraya mengatakan rajin memantau perkembangan fashion dunia.
Salah satu koleksi Butik thia-Foto: Dokumentasi Pribadi.Thia mengaku memproduksi pakaian yang sesuai kaidah syariah,walaupun dia enggan memakai embel-embel kata syari.
Untuk itu dia tidak menampakkan wajah model ketika melakukan marketing, dan dia tidak melakukann public fashion show, karena menurut Thia banyak sekali kaidah Islam yang dilanggar dalam praktik-praktik tersebut.
“Saya merasa bahwa fashion telah menjadi jalan dakwah saya untuk menyebarkan kebaikan. Jadi penerimaan material dalah nomer dua, yang terpenting bagi saya adalah ridho Allah,” pungkasnya. (Irvan Sjafari)