checkup-dokter keuangan
checkup-dokter keuangan
octa vaganza

UKM Kreatif Bandung (10) Cara Remie Menjual Ganyong di Era Milenial

Remie Mayang Sari dengan produk ganyong-nya di pameran Hari Koperasi Nasional ke 71 di ICE, BSD (Kamis,12/7/2018)-Foto: Irvan Sjafari

BANDUNG—Meneruskan usaha orangtua, tetap harus mempunyai inovasi dan kreativitas.  Hal ini disadari Remie Mayangsari, owner dari Nanamie, sebuah UKM cake dan pastry, ketika ia meneruskan usaha penjualan kue milik ibunya Siti Soliha di kawasan Cisitu Lama.

Sang Ibu sudah mulai berjualan kue pada 1994, ketika Remie masih duduk di bangku SD.  Pada waktu itu pemasarannya masih menitipkan di warung di sekitar tempat tinggalnya.  Sampai suatu ketika pada 2009,  dia mendapatkan inspirasi dari petani ganyong di Majalengka.

Ganyong  adalah tanaman sejenis umbi-umbian yang sebetulnya mengandung nilai gizi yang tak kalah dengan umbi-umbian lain, namun kurang populer di masyarakat perkotaan.

Remie kemudian melakukan inovasi, mengolah ganyong menjadi makanan oleh-oleh berupa kue kering yang lazim disebut bagelen. Dia mulai merintis ganyong pada 2009.

Naluri bisnis Dara kelahiran 6 Februari 1989 sudah teruji sejak ia mencoba usaha Roti Bakar  pada 2009 dengan modal Rp5 jutaan, sebagian besar untuk peralatan, gerobak dan alat panggang.  Agar berbeda dengan penjual  roti bakar lainnya Remie melakukan inovasi tidak saja konvensional seperti roti bakar cokelat, stroberi, meises, tetapi juga bluberi.

Jualannya diberi nama Tikar singkatan roti bakar dan Tikus singkatan roti kukus. Omzetnya hanya Rp3 juta per bulan.

“Dari jumlah itu sebagian besar untuk membeli bahan dan gaji karyawan, ya, saya sisanya, ” cerita anak pertama dari dua bersaudara ini mengenang perjuangannya kepada Peluang ketika saya temui di sela acara pameran Hari Koperasi Nasional di ICE,  Tangerang Banten, Kamis (12/7/2018).

Bisnis roti bakar ini hanya jalan dua tahun karena kesibukan kuliahnya di Akademi Perhotelan di NHI. Dia juga pernah bekerja sebagai seorang koki di Hotel Preanger.  Bekal ini membuat Remie mampu memberikan sentuhan berbeda pada penjualan  ganyong.

Di tangan Remie, satu kilogram ganyong bisa dibuat lima puluh bungkus. Ia menjalin relasi dengan petani di Majalaya, Sumedang, Ciamis, hingga Trenggalek.

Seperti ketika, ia  menjual roti bakar, maka pengalaman itu diterapkan mengolah ganyong berbagai varian rasa, orisinal, stroberi, bluberi, bahkan rasa pizza.

Ternyata kreativitasnya mendapatkan sambutan dari pasar. Rasanya memang menggoyang lidah.

“Inspirasi lainnya didapat dari Mantan Menteri Parwisata Jerro Wacik yang menyarankan dia untuk membuat ukuran ganyong lebih kecil. Tadinya besar, tapi pas dicoba Pak Menteri  ternyata remahannya kena bajunya. Akhirnya saya perkecil,” ungkap Remie.

Dia mampu memasarkan produknya hampir ke seluruh provinsi di Indonesia, bahkan sudah diperkenalkan ke beberapa negara oleh teman dan kerabatnya yang berpergian, belajar hingga tinggal di sana.

Omzetnya berkisar Rp30 hingga Rp60 juta per bulan.  Satu bungkus dibandrol Rp40 ribu. Remie mampu memberi lapangan kerja bagi lima karyawan.

“Omzet tergantung musim. Kalau lebaran, misalnya omzet memang tinggi,” cetus dia.

 

Remie turun sendiri memproduksi ganyong di rumahnay di kawasan Cisitu, Bandung-Foto: Dokumentasi pribadi.

 

Remie memodifikasi tepung singkong menajdi panganan oleh-oleh juga yang disebutnya Stock Mocaf. Produk ini dijual Rp30 ribu per dus.

“Agar bisa kompetitif, memang dituntut selalu inovasi,” tutupnya (Irvan Sjafari).