Mengejar piutang pajak bernilai besar tidak cukup hanya dengan gebrakan politik. Butuh mesin penegakan yang solid, tracing asset yang presisi, blokir rekening yang cepat, serta kemampuan membongkar struktur korporasi yang berlapis.

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa tengah mengejar 200 pengemplang pajak yang berutang ke negara untuk segera membayar utangnya sekitar Rp50—Rp60 triliun. ” Dalam waktu dekat akan kita tagih dan mereka enggak akan bisa lari,” ucapnya, Senin (22/9). Selang sehari, ia memberi batas waktu satu minggu. Jika tidak, ia mengancam bakal membuat susah hidup para pengemplang pajak.
Namun, per 24 November 2025, negara baru sanggup menghimpun Rp11,99 triliun dari 106 pengemplang pajak. Ditjen Pajak pun hanya menargetkan bisa mengamankan Rp20 triliun hingga akhir tahun ini.
Mengejar piutang pajak bernilai besar tidak cukup hanya dengan gebrakan politik. “Purbaya membutuhkan mesin penegakan yang solid, tracing asset yang presisi, blokir rekening yang cepat, serta kemampuan membongkar struktur korporasi yang berlapis,” kata Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman.
Jika Purbaya ingin mendorong DJP mendekati target Rp20 triliun, “Pendekatannya harus bergeser menjadi penegakan berbasis risiko, bukan sekadar sweeping. Artinya, fokus pada WP yang paling mungkin membayar, memperkuat data aset, dan mempercepat sanksi koersif. Misalnya dengan blokir, sita, hingga gijzeling (penyanderaan) agar efek jera terbentuk,” saran Rizal.
Pengamat Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyebut masuknya setoran Rp11,9 triliun menunjukkan ada kemajuan, walau hambatan nyata mengintai. Dicontohkan bahwa sebagian kasus berstatus sengketa sehingga butuh putusan, sedangkan sebagian lagi meminta skema cicilan yang mengurangi laju setoran kas.
DJP juga mesti berhadapan dengan struktur kepemilikan berlapis, transfer harga lintas yurisdiksi, dan aset yang mudah dipindah. “Purbaya harus menyeimbangkan ketegasan dengan kehati-hatian prosedural agar tagihan tidak rontok di pengadilan. Jadi, masalah utamanya bukan keberanian politik semata, melainkan friksi penegakan, kualitas data, dan kebutuhan follow-through yang presisi hingga uang benar-benar masuk ke kas negara,” ujarnya.
Pemerintah mestinya berani menetapkan sanksi otomatis bagi WP besar yang gagal memenuhi settlement, termasuk penyitaan aset dan pembatasan akses fasilitas perpajakan. Di lain sisi, skema cicilan diperbolehkan hanya dengan jaminan likuid dan tenggat waktu ketat. Purbaya juga kudu melaporkan progres penagihan 200 pengemplang pajak, setidaknya setiap dua pekan. Langkah ini penting agar efek jera terpelihara dan tax morale mayoritas WP patuh terjaga.
Menagih utang pajak memang ‘gampang gampang susah’. Juru sita di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebenarnya memiliki instrumen penagihan secara legal dari paling ringan hingga paling berat. Namun, penagihan akan susah ketika aset yang disita sebagai jaminan utang tidak memadai atau sulit laku pada saat dilelang.
“Kesulitan lainnya muncul ketika pengemplang pajak dipailitkan oleh kreditur lain, sesuai putusan pengadilan niaga yang sudah inkracht. Selain utang pajak, perusahaan pailit tersebut memiliki utang upah pekerja yang harus diselesaikan,” ujar Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono..
Dari sasaran Rp50 triliun–Rp60 triliun utang pengemplang pajak di Indonesia, yang baru terkoleksi Rp8 triliun. Purbaya berjanji akan terus berupaya untuk mengumpulkan pendapatan kas negara. “Ada beberapa yang belum bayar pajak secara penuh akan kita approach. Ada beberapa ratus pengusaha yang belum bayar pajak tepat waktu, kita akan kirim surat cinta ke mereka supaya bayar tepat waktu,” ujarnya.●








