Koperasi Pekerja adalah jenis koperasi dimana anggotanya adalah pemilik dan karyawan, dan sekaligus pengendali koperasi, yang dilakukan secara demokratis berdasarkan satu anggota satu suara. Ia dapat dibentuk oleh para profesional ataupun oleh kalangan kurang terdidik.
BAGAIMANA halnya dengan pengenalan Koperasi Pekerja di Indonesia? Upaya tersebut pernah digagas Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I) ketika menggelar sebuah seminar pada tahun 2001. Menurut Djabaruddin Djohan, mantan Ketua Umum LSP2I, pengertian Koperasi Pekerja di Indonesia seringkali dipahami sama dengan Koperasi Karyawan (Kopkar) yang memang sudah lama dikenal di kalangan gerakan koperasi. Celakanya, kerancuan ini juga menjalar di kalangan pemerintah.
“Koperasi Pekerja jelas berbeda dengan Koperasi Karyawan. Koperasi Pekerja adalah koperasi yang 100% independen, sedangkan Kopkar adalah koperasi yang “tergantung” pada perusahaan, yang karyawannya menjadi anggota Kopkar,” ujar Djabaruddin. Perbedaan keduanya terlihat pada orientasi. Kopkar pada umumnya berorientasi pada konsumsi, sedangkan Koperasi Pekerja pada produk dan jasa. Perbedaan lainnya, ujar Djabaruddin, Koperasi Pekerja adalah jenis koperasi dimana anggotanya adalah pemilik dan karyawan, dan sekaligus pengendali koperasi, yang dilakukan secara demokratis berdasarkan “satu anggota satu suara.” Koperasi Pekerja dapat dibentuk oleh kalangan profesional/terdidik seperti dokter, akuntan, pengacara, wartawan, dosen; ataupun di kalangan kurang terdidik, seperti buruh pelabuhan, sopir dan lainnya dalam profesi yang sama.
Dengan demikian, persyaratan untuk mendirikan Koperasi Pekerja adalah masing-masing memiliki keahlian atau pengalaman tertentu dan ada keinginan untuk menyatukan keahlian/pengalamannya dalam satu wadah. Persyaratan utamanya adalah kesamaan profesi, meski dalam kenyataannya keanggotaan bisa diperluas dengan profesi yang berdekatan. Misalnya, koperasi di kalangan dokter dengan mengikutsertakan perawat, atau koperasi sopir dengan menyertakan para pekerja bengkel.
Selain Mondragon Corporation Cooperatives yang jadi kiblat Koperasi Pekerja di dunia dewasa ini, Koperasi Pekerja lain yang terbilang sukses, kata Djabaruddin, adalah Koperasi Kesehatan, Unimed di Brasil (lihat: Mancanegara).Sukses Koperasi Kesehatan di Brasil ini telah menghilhami pendirian Koperasi Kesehatan di AS dan Eropa. Selain itu juga Koperasi Pelaut (Secure Cooperative Ltd.)di Singapura,yang anggotanya banyak berasal dari para pelaut yang diberhentikan, sehingga dapat bekerja kembali di unit-unit usahanya seperti: unit konstruksi, pabrik kimia. Koperasi Pekerja sukses lainnya adalah Labour Cooperatives di India,yang dibentuk oleh tenaga -tenaga kurang terdidik (unskilled), yaitu para pekerja bangunan (konstruksi) dan pekerkja industri kehutanan.
Di Indonesia juga pernah lahir sejumlah Koperasi Pekerja, Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Karya Sejahtera dan Koperasi Sopir Taksi Indonesia (KOSTI). Koperasi TKBM hingga kini masih eksis, sedangkan Koperasi Sopir Taksi (KOSTI) mengalami kemandegan lantaran kemelut kepengurusan di tubuh koperasi yang berdiri pada 1980 ini. KOSTI didirikan oleh sopir-sopir taksi yang ingin mengubah nasibnya dari buruh menjadi pemilik taksi. Melalui koperasi, mereka mendapat kredit dari bank untuk membeli mobil, yang dibayar dengan angsuran cicilan.
Pada tahun 1990-an dan awal 2000-an, KOSTI berjalan dengan baik. Jumlah armada taksi yang semula hanya 200 buah berkembang menjadi 2.000 buah. Tetapi kemudian timbul konflik antara manajemen dan anggota/pekerja, yang konon bersumber dari perbedaan income. “Saya tidak tahu bagaimana perkembangan KOSTI sekarang, silahkan anda telusuri perkembangannya. Sungguh sayang apa yang terjadi pada KOSTI, padahal jika perkembangannya di tahun 1990-an berkesinambungan, KOSTI dapat menjadi contoh Koperasi Pekerja yang genuine,” tutur Djabaruddin.
Terganjal Undang-Undang
Jika Djabaruddin menilai kesulitan Koperasi Pekerja berkembang karena pengelolaan yang tidak profesional, berbeda dengan pandangan Revrisond Baswir. Menurut pengamat koperasi dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini, keberadaan Koperasi Pekerja terganjal oleh Undang-Undang Koperasi No 12 tahun 1967. Melalui UU ini corak koperasi berubah menjadi koperasi golongan fungsional. Padahal, kata dia, Koperasi Pekerja adalah bentuk perlawanan yang paling diametral terhadap kapitalisme.
Bertolak belakang dengan perusahaan yang bercorak kapitalis, pada Koperasi Pekerja tidak ada buruh dan tidak ada pula majikan. Semuanya adalah pekerja yang bekerjasama untuk memenuhi keperluan bersama. Keberadaan koperasi jenis ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja pada perusahaan yang bercorak kapitalis untuk menentang kapitalisme. Kaum kapitalis tidak menghendaki hal itu terjadi di Indonesia. “Koperasi dicegah tumbuh dengan benar agar tidak menjadi sumber inspirasi munculnya kesadaran kelas,” tutur Revrisond.
Bagaimana pula pendapat pejabat di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM? Untung Tri Basuki, yang kini Asisten Deputi bidang Keanggotaan pada Deputi Kelembagaan, menilai salah kaprah mengenai Koperasi Pekerja sudah berlangsung lama dan seolah ‘dilegalisir’ oleh UU No. 12 Tahun 1967. Melalui UU itu, maka dikenal istilah Koperasi Fungsional yang umumnya berkembang karena adanya interest. “ Tentara, polisi, PNS, karyawan perusahaan bikin koperasi di lingkungan kerjanya saja. Mereka tidak tahu bahwa mereka bisa bikin Koperasi Pekerja. Ini karena pembinanya juga pada tidak tahu dan tidak pernah belajar koperasi yang benar, tapi sok-sokan bikin regulasi ngawur,” ujar Untung.
Pada beberapa kesempatan, sejak awal reformasi, Untung mengaku selalu minta kepada koperasi-koperasi fungsional itu untuk membuka (memperluas) keanggotaanya. Tapi mereka khawatir. Pasalnya, tidak rela berbagi rezeki dengan orang lain di luar tempat kerjanya. Hanya Kopkar Semen Gresik (KWSG) yang agak mau mengajak sopir-sopir truknya untuk ikut jadi anggota, pada tahun 2008. Sopir lepas selama ini hanya jadi budak-budak majikan, seperti tampak pada koperasi para sopir taksi yang banyak kita temui di bandara.
Guna lebih mengenal Koperasi Pekerja di Indonesia, Untung mengajak para pegiat koperasi untuk rajin melakukan sosialisasi ke kelompok profesi dan asosiasi, seperti dokter, arsitek, lawyer dan kalangan profesi lainnya. Lain halnya pendapat pengamat koperasi Suroto, yang sulit melihat Koperasi Pekerja tumbuh di Indonesia. “Karena bikin worker co-op ini bicara economic of scope yang idenya mungkin baik untuk dimulai dua atau tiga orang saja. Tapi di negaramu ini, kanda, harus dua puluh orang. Jadinya kelompok arisan, bukan ide brilian,” begitu dia menulis melalui WhattsApp.●(Irsyad Muchtar)