hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

The Silent Killer Bernama Pinjol

Heboh soal semakin banyaknya masyarakat yang kecanduan judi online belakangan ini semakin marak. Gerakan memerangi judol menjadi semakin gencar dilakukan. Tetapi, sesungguhnya ada produk turunan digitalisasi keuangan lain yang jauh lebih membahayakan daripada judi online, produk itu adalah pinjaman online alias pinjol.

Judol, sebagaimana dengan judi offline, entah itu judi dengan menggunakan kartu, atau sabung ayam jelas merupakan perbuatan melawan hukum di negeri ini. Tetapi pinjol? Kecuali pelaku usahanya memang tidak berizin sehingga ditertibkan oleh OJK, pinjol berizin pun sesungguhnya merupakan bahaya laten yang siap menarik masyarakat kelas menengah yang terjebak pinjol ke jurang kemiskinan.

Tengok saja apa yang terjadi dengan Donny, seorang professional yang karirnya sebetulnya cukup menjanjikan dan kondisi ekonominya relatif baik-baik saja. Sebagai seorang manajer di perusahaan swasta, gajinya setiap bulan sebetulnya cukup untuk membiayai hidup keluarganya. Tidak berlebih memang, tetapi kekurangan juga tidak. Donny sesungguhnya adalah potret masyarakat kelas menengah masa kini.

Suatu ketika, dia dihadapkan pada situasi tak terduga. Dia harus membayar kebutuhan keluarga dalam jumlah besar. Tak banyak pilihan yang dimilikinya. Tabungannya tidak mencukupi. Di tengah kepusingannya, lewatlah iklan pinjaman online di media sosialnya. Donny lalu tergoda untuk membuka iklan tersebut. Tawarannya cukup menarik: hanya butuh waktu 60 detik, pinjaman Anda dapat langsung cair.

Singkat cerita, dia pun segera melakukan registrasi, mengunggah KTP, mengambil swafoto, mengisi data. Kemudian, hanya dalam hitungan menit, permohonan pinjamannya dinyatakan disetujui dan dia diminta menunggu beberapa menit. Tak berselang lama, saldo rekeningnya langsung bertambah. Tetapi, dananya masih kurang. Maka dia pun mencoba mengunduh beberapa aplikasi pinjaman lain. Di situlah mimpi buruknya dimulai.

Dari setiap aplikasi, dana yang dipinjamnya sebetulnya tidak besar. Tetapi, karena dia ajukan dari beberapa aplikasi dalam waktu berdekatan, pada saat jatuh tempo dia mulai kebingungan karena TENOR pinjamannya singkat, sedangkan bunganya sangat besar. Di saat awal, pembayarannya masih lancar. Belakangan dia mulai telat membayar, bukan karena sengaja menunda, tetapi karena sesungguhnya dia sudah tak punya dana lagi untuk melunasi kewajibannya itu.

Dia sampai harus menguras tabungan keluarga untuk membayar cicilan Pinjol. Donny lalu bertengkar dengan istrinya hingga mereka harus pisah rumah. Pada saat yang sama, petugas penagihan mulai meneror dia. Tabungannya habis, keluarganya berantakan. Sementara cicilan pinjolnya terus menumpuk. Donny mengalami gagal bayar. Hidupnya berantakan.

Dia tidak sendiri. Sebab, menurut data OJK sebagaimana dirilis databoks katadata, pada triwulan pertama tahun ini saja, kredit macet pinjol telah mencapai Rp1,9 triliun!

 

Turun Tangan

Bisnis Pinjol memang butuh turun tangan regulator. OJK sebetulnya sudah berupaya melakukan penguatan industri fintech Peer to Peer lending (P2P lending) serta pelindungan konsumen dengan mengeluarkan berbagai ketentuan dan roadmap industri ini untuk memperkuat pengawasan, mendorong industri agar dapat berkembang secara sehat sekaligus memperkuat pelindungan konsumen.

Peraturan OJK No 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK 10/22) dan Surat Edaran OJK No 19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (SEOJK 19/2023) sudah diterbitkan.

Aturan itu mewajibkan Penyelenggara memenuhi batas wajar bunga, biaya administrasi, hingga denda keterlambatan.

Ada lagi POJK Nomor 22 tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Sejumlah hal diatur di situ, seperti mewajibkan penagihan kepada konsumen dilakukan dengan tidak menggunakan cara ancaman, kekerasan atau tindakan yang bersifat mempermalukan Konsumen, tidak menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal, tidak kepada pihak selain Konsumen, tidak secara mengganggu dengan terus menerus menagih di tempat alamat penagihan atau domisili Konsumen, sampai dengan waktu penagihan yang hanya boleh dilakukan pada hari Senin-Sabtu di luar hari libur nasional dari pukul 08.00 – 20.00 waktu setempat.

Tentu saja, itu aturan di atas kertas. Praktiknya, intimidasi tak bisa dihindarkan, mulai dari penggunaan kata-kata tidak senonoh, ancaman hingga penyalahgunaan data.

Sejak tahun 2020 hingga 12 Juli 2024, OJK telah mencabut 66 izin usaha penyelenggara fintech P2P lending. OJK juga sudah melakukan moratorium perizinan baru Penyelenggara fintech P2P lending. Ada lagi peran Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) yang sejak 2017 hingga Juni 2024 telah menghentikan 8.271 entitas pinjaman online ilegal.

Pelindungan konsumen memang menjadi kata kunci dalam hal ini. OJK bersama pemerintah baru saja meluncurkan Gerakan Nasional Cerdas Keuangan.

“Langkah ini dilakukan untuk mendorong peningkatan literasi dan inklusi keuangan secara masif dan merata di seluruh Indonesia,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar.

Sekian banyak regulasi, inisiatif dan tindakan sudah diambil. Tetapi, bagaimana nasib konsumen Pinjol seperti Donny, yang sudah tak mampu lagi keluar dari jerat masalah ini. Mereka ini sebagian bukanlah nasabah yang nakal, tetapi kesulitan karena tagihan menumpuk dan datang bersamaan. Salah satu solusi yang bisa ditempuh sebetulnya adalah memperpanjang TENOR. Dalam banyak kasus, dengan besaran cicilan yang lebih kecil, konsumen umumnya mampu menyelesaikan kewajibannya. Sayangnya, penyelenggara Pinjol tak akan mau memberikan solusi itu.

Kalau sudah begini, regulator tentu harus turun tangan. Sebab, secara makro, fenomena ini akan membahayakan perekonomian nasional. Kalau tidak segera diselesaikan, masalah ini hanya akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak.(Drp)

 

pasang iklan di sini