Fenomena tergerusnya populasi masyarakat kelas menengah di Tanah Air merupakan kabar yang cukup mencemaskan bagi sebagian kalangan. Bagaimana tidak, masyarakat Kelas Menengah sesungguhnya sangat diandalkan untuk menjadi bantalan ekonomi nasional.
Sebagai ilustrasi, nilai konsumsi dari kelompok kelas menengah dan menuju kelompok menengah (aspiring middle class) pada tahun 2024 mencapai 81,49% dari total konsumsi masyarakat. Ini tentu merupakan angka yang sangat signifikan.
Namun, laporan terbaru Badan Pusat Statistik mengungkapkan bahwa dalam lima tahun terakhir populasi kelas menengah di Indonesia menunjukkan trend penurunan. Pada 2019, jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 57,33 juta orang, setara 21,45% dari total penduduk. Pada tahun 2024, populasinya turun menjadi 47,85 juta orang atau 17,13% dari total penduduk pada 2024.
Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti saat konferensi pers BPS yang dilakukan belum lama ini mengungkapkan bahwa jumlah dan persentase penduduk kelas menengah mulai menurun pasca pandemi.
BPS mendefinisikan kelas menengah sebagai kelompok masyarakat dengan pengeluaran antara 3,5 sampai 17 kali lipat dari garis kemiskinan nasional. Per Maret 2024, BPS menetapkan nilai garis kemiskinan nasional sebesar Rp582.932 per kapita per bulan. Ini berarti, masyarakat Indonesia yang tergolong kelas menengah pada tahun ini memiliki rentang pengeluaran antara Rp2.040.262 sampai Rp9.909.844 per kapita per bulan.
“Penguatan daya beli diperlukan tidak hanya untuk kelompok miskin, tetapi juga untuk kelompok Kelas Menengah dan Menuju Kelas Menengah. Kalau Kelas Menengah dan Menuju Kelas Menengah kuat, maka daya beli masyarakat secara keseluruhan akan menjadi kuat,” ujar Amalia Adininggar dalam suatu konferensi pers yang digelar BPS, belum lama ini.
Menurut data BPS, populasi kelas menengah yang turun ke kelompok menuju kelas menengah (aspiring middle class) meningkat dari 136,92 juta pada 2023 menjadi 137,50 juta pada tahun 2024. Namun, populasi penduduk kelas atas sebetulnya juga turun dari 1,26 juta di 2023 menjadi 1,07 juta pada 2024.
Dilihat dari pekerjaannya, populasi kelas menengah di Tanah Air tersebar, sebagian besar merupakan pekerja formal, tetapi sebagian lainnya menjalankan bisnis produktif atau menjadi wirausaha.
Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, pemerintah menyadari bahwa kelas menengah Indonesia berperan penting sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi, karena konsumsi kelompok ini tumbuh sekitar 12% setiap tahun sejak 2002, dan mewakili hampir setengah dari total konsumsi rumah tangga nasional.
Airlangga menjelaskan bahwa pemerintah juga memahami bahwa upaya menjaga ketahanan kelas menengah menjadi tantangan yang tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, pemerintah sesungguhnya sangat berkepentingan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga pertumbuhan kelas menengah.
Berdampak Negatif
Menurut Ekonom Senior INDEF Prof. Bustanul Arifin, penurunan kelas menengah berdampak negatif pada ekonomi Indonesia, karena kelas ini berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi, tata kelola, dan reformasi kebijakan. Penurunan ini berkaitan dengan transformasi struktural dari sektor pertanian ke manufaktur, yang kontribusinya terhadap PDB terus menurun sejak 1995. Pentingnya penguatan industrialisasi, reformasi tata kelola kebijakan, dan digitalisasi diperlukan untuk mendukung kelas menengah.
“Dukungan kelas menengah terhadap reforma kebijakan ekonomi dan politik hanya dapat terwujud jika kebijakan sejalan dengan kepentingan mereka,” ujar Prof. Bustanul dalam suatu diskusi publik yang digelar oleh INDEF, baru-baru ini.
Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto mengungkapkan bahwa masyarakat belakangan ini semakin pesimistis terhadap kondisi ekonomi, terlihat dari perlambatan konsumsi, penurunan PMI manufaktur, dan deflasi. Indeks ekspektasi konsumen juga turun terkait penghasilan, lapangan kerja, dan kegiatan usaha.
Semakin beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung masyarakat kelas menengah tanpa bisa menemukan solusi jangka pendek agaknya telah mempengaruhi keyakinan masyarakat terhadap prospek ekonomi ke depan. Kalau ini terus dibiarkan, tentu akan semakin sulit menyelamatkan kelas menengah, karena upaya peningkatan produktivitas masyarakat sangat terkait erat dengan indeks keyakinan konsumen. (drp)