MEMASUKKAN tembakau dalam kategori yang serupa dengan zat adiktif lain seperti narkotika pada RUU Omnibus Kesehatan menimbulkan kecaman banyak pihak. Soalnya, tembakau bukan hanya menjadi salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, akan tetapi juga memiliki nilai historis yang lebih tua dari usia negara ini sendiri.
Kontribusi penerimaan negara dari cukai IHT terbilang besar, hampir Rp200 triliun pada 2022. Kontribusi tersebut tentu memberikan efek berganda pada kehidupan petani tembakau di Indonesia. “Ada sekitar 2,7 juta jiwa yang bergantung kepada sektor tembakau ini. Perputaran uangnya sampai Rp9,2 triliun/tahun di tingkat petani. Jika pasal zat adiktif itu hadir, maka habislah petani yang bergantung pada tembakau,” ujar peneliti kebijakan publik dari IPB, Dr. Sofyan Syaf.
Menurut Sahminuddin, petani di Lombok, NTB, menanam tembakau sudah menjadi budaya yang turun temurun. Mengganti kebiasaan tersebut dengan menanam tanaman lain akan sangat sulit. “Lahan kami cuma cocok untuk tanaman tembakau. Tembakau ini nilai ekonomisnya paling tinggi. Keahlian, modal, dan lain-lain sudah terbentuk sedemikian rupa di diri petani tembakau. Kalau masalah ini mau diganti tidak bisa serta merta. Lagi pula, apakah ada jaminan pasar?” kata Sahminuddin.
Tanaman tembakau punya daya saing yang lebih tinggi secara ekonomis, Tembakau juga menjadi komoditas unggulan para petani di daerah yang kering atau ketika musim kemarau tiba, di saat tanaman pangan tidak mampu bertahan hidup. Karenanya, ujar Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, pengalihan petani tembakau ke menanam tanaman pangan tidak mudah. Sebab, selain masalah konversi lahan, ada masalah yang lebih krusial, yakni terkait insentif petani.
Persoalan pangan bukan semata persoalan lahan. Utamanya justru ada pada sistem insentif di sektor pertanian. “Saat ini, nilai tukar petani sangat rendah. Tidak ada insentif bagi petani. Semakin sedikit atau bahkan tidak ada orang yang mau menjadi petani. Sektor pertanian identik dengan kemiskinan,” ujar Piter. Ia menggarisbawahi, selagi pemerintah belum mengubah sistem insentif bagi petani, ekstensifikasi produksi pangan nasional akan sulit diwujudkan secara optimal.●(Nay)