hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Tarif KRL Kalangan Mampu Memang Mestinya Beda

ADA rencana menerapkan dua tarif Kereta Rel Listrik (KRL). Yakni untuk masyarakat miskin dan kaya. Tarif KRL masih termasuk kewajiban pelayanan publik (public service obligation/PSO) atau objek subsidi pemerintah. Dengan tarif KRL selama ini, pemerintah menyubsidi 55 persen, hanya 45 persen yang ditanggung penumpang.

Kemenhub mengalokasikan anggaran Rp3,051 triliun untuk penyelenggaraan PSO kereta di tahun 2022 lalu. Salah satunya untuk kebutuhan operasional KRL Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi) dan KRL Yogyakarta.

Rencana subsidi tepat guna tarif KRL, kata Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno, sudah lama dibicarakan. Inilah opsi selain menaikkan tarif. Kebijakan tersebut dinilainya tepat. Subsidi KRL (yang tidak tepat sasaran) bisa dialihkan untuk pengembangan moda transportasi publik di daerah selain Jakarta, termasuk Bodetabel. “Bisa juga untuk subsidi kereta daerah atau angkutan umum di daerah sehingga ada unsur pemerataan,” ujarnya.

            Pengurangan subsidi KRL dengan menaikkan tarif bagi orang yang mampu, namun tetap tidak menghapus unsur subsidi di dalamnya. Hal tersebut untuk menjaga agar tidak beralih kembali ke kendaraan pribadi. Selain itu, lanjut Djoko, pemerintah juga bisa membedakan pengenaan tarif untuk hari kerja dan akhir pekan. Menurut survei yang dilakukan pihaknya di tahun 2018, hanya 3-5 persen orang bekerja menggunakan KRL di akhir pekan.

            Sebelumnya, subsidi tepat guna KRL sudah direncanakan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) pada tahun 2018 lalu. Dalam rencana tersebut, BPTJ mengajak PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) dan Kementerian Sosial (Kemensos) untuk mengkaji. “Saat ini kebijakan itu masih dibahas internal BPTJ, apakah mau dijalankan atau tidak,” ucap Kepala BPTJ, Bambang Prihartono.

            Di sisi lain, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub pada saat itu, Zulfikri, menyatakan pihaknya belum akan menerapkan subsidi tepat sasaran lantaran menyadari pelayanan KRL masih belum maksimal. Waktu tunggu kereta tidak pasti dan sering tertunda. “Tahun 2016 kita sudah melakukan kajian untuk subsidi tepat sasaran. Tapi kalau pelayanan KRL masih banyak delay-nya, ini kan enggak mungkin. Kita selesaikan dululah double-double track (DDT) ini,” ujar Zulfikri.●

pasang iklan di sini