Penemuan minyak bumi di pengujung abad XIX merupakan daya tarik bagi puak Hindia-Belanda (juga Jepang) untuk bercokol dan menguasai Tarakan—sebuah kota-pulau yang dinamis.
INI satu-satunya kota di ujung utara Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Juga merupakan kota terkaya ke-17 di Indonesia. Luasnya 250,80 km² dengan populasi 280.215 jiwa (BPS 2021). Kota yang mengemban semboyan “BAIS” (Bersih, Aman, Indah, Sehat dan Sejahtera) ini juga dikenal sebagai Bumi Paguntaka. Lokasinya di sebuah pulau kecil. Karena itu pula, Tarakan jadi kota dengan mobilitas tertinggi di wilayah Kaltara.
Secara administratif, kota ini terdiri dari 4 Disktrik dan 20 Kelurahan, untuk Distrik Tarakan Barat dan Tarakan Tengah masing-masing terdiri dari 5 Kelurahan; adapun Tarakan Timur terdiri dari 7 Kelurahan dan 3 Kelurahan untuk Tarakan Utara. Istilah “distrik” lazimnya terdengar ketika membicarakan wilayah di Papua. Memang tak dikenal merata di Tanah Air.
Kata “Tarakan” diduga kuat terambil dari bahasa Tidung: tarak (tempat bertemu/singgah) dan ngakan (makan). Secara umum bisa dipahami sebagai “Tempat para nelayan untuk istirahat makan, berjumpa dan melakukan barter hasil tangkapan dengan nelayan lain.” Selain itu, Tarakan juga merupakan tempat pertemuan arus muara Sungai Kayan, Sungai Sesayap dan Sungai Malinau.
Di kalangan Suku Tidung yang tersebar di Kalimantan Timur dan Utara kini terdapat 4 (empat) gugus dialek bahasa Tidung, yaitu Dialek bahasa Tidung Malinau, dialek bahasa Tidung Sembakung, dialek bahasa Tidung Sesayap, dan dialek bahasa Tidung Tarakan yang biasa pula disebut Tidung Tenggara.
Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) merupakan kerajaan yang memerintah Suku Tidung di Kalimantan Utara, yang bermarkas di Pulau Tarakan, sebelum akhirnya pindah ke Salimbatu. Bersama Kerajaan Tidung, ada satu kerajaan lain masa itu tapi lokasinya agak berjauhan. Yakni Kesultanan Bulungan yang bermarkas di Tanjung Palas.
Letak dan posisinya yang stategis serta melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki, membuat Kota Tarakan jadi incaran imperialis Belanda. Sejak 1896, ketenangan masyarakat setempat terganggu. Saat itu perusahaan minyak Belanda, BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapij) menemukan sumber minyak. Seiring nilai strategis Tarakan, tahun 1923 Pemerintah Hindia Belanda menempatkan seorang Asisten Residen di pulau ini yang membawahi 5 (lima) wilayah: Tanjung Selor, Tarakan, Malinau, Apau Kayan dan Berau.
Sejak saat itu, puak kolonial mulai mendatangkan tenaga kerja dari Jawa untuk meningkatkan produktivitas pengeboran. Produksi minyak pada masa itu terus meningkat hingga mencapai 350.000 barel per bulan. Sampai saat ini, aktivitas pengeboran minyak (kecil-kecilan) masih berlanjut. Di berbagai penjuru Kota Tarakan pun masih banyak dijumpai pompa angguk kuno yang beroperasi.
Pada masa pendaratan Sekutu, tingkatan Jepang di Tarakan berjumlah 2.200 orang yang didatangkan dari Tingkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang. Memperoleh ladang minyak Tarakan merupakan tujuan Jepang selama Perang Pasifik. Mereka menyerang Tarakan pada 11 Januari 1942 dan mengalahkan garnisun kecil Belanda dalam pertempuran dua hari. Ladang minyak Tarakan sukses disabotase oleh Belanda sebelum diserahkan, tapi Jepang dengan cepat memperbaikinya hingga dapat berproduksi lagi pada awal 1944.
Menyusul penyerahan Belanda, 5.000 penduduk Tarakan amat menderita akibat kebijakan Jepang. Banyak orang Tarakan yang kurang gizi. Selama masa pendudukan Saudfara Tua itu, mereka membawa sekitar 600 buruh ke Tarakan dari Jawa. Juga memaksa sekitar 300 wanita Jawa bekerja sebagai “jugun ianfu” (wanita penghibur) di Tarakan setelah membujuk mereka dengan akad palsu memperoleh kerja sebagai juru tulis maupun membuat pakaian.
Jepang terakhir meninggalkan Tarakan pada bulan Juli 1944, dan serangan udara Sekutu yang hebat pada tahun-tahun itu menghancurkan produksi minyak dan fasilitas prasarana penyimpanan di pulau itu.
Ditilik lebih jauh ke belakang, Kota Tarakan merekam sejarah budaya yang cukup panjang. Khususnya sejak tahun 1076 hingga 1557 Masehi, melalui pemerintahan Kerajaan Tidung—cikal bakal peradaban di wilayah Kalimantan Utara. Nama pemimpin terakhir kerajaan itu, Datoe Adil, diabadikan jadi nama bangunan Stadion—yang kini merupakan salah satu ikon Kota Tarakan.
Jejak lain Kerajaan Tidung yang dilestarikan adalah Balai Adat dan Budaya Tidung serta Baloy Adat Mayo. Keduanya menawarkan daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik ataupun mancanegara. Lokasi kedua bangunan tersebut berbeda. Balai Adat dan Budaya Tidung berada di Kampung Enam, Tarakan Timur sedangkan Baloy Adat Mayo berada di Karang Harapan, Tarakan Barat.
Tarakan juga punya atraksi seni budaya rutin. Yakni upacara tradisional Suku Tidung bertajuk Festival Iraw Tengkayu. Yakni ritual menghanyutkan sesaji ke laut yang kemeriahannya diperkaya dengan berbagai macam perlombaan. Biasanya acara ini dilaksanakan di Pantai Amal, Kota Tarakan. Upacara Iraw Tengkayu adalah warisan adat suku asli Tidung sebagai rasa syukur atas rezeki dari Tuhan.
Terdiri dari dua kata, Iraw Tengkayu memiliki dua arti kata yang diambil dari bahasa Tidung. Iraw yang berarti perayaan atau pesta, sedangkan Tengkayu adalah pulau kecil yang dikelilingi oleh laut, yang dimaksud pulau kecil di sini adalah Pulau Tarakan. Inti dari Festival Iraw Tengkayu yang sudah berlangsung secara turun-temurun ini adalah arak-arakan perahu Padaw Tuju Dulung, yaitu perahu hias yang diarak keliling kota. Perayaan Festival Iraw Tengkayu dilaksanakan setiap dua tahun. Waktunya bertepatan dengan hari jadi kota Tarakan.
Selain wisata budaya, Tarakan memiliki daya tarik wisata lainnya seperti Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan. Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) atau lebih dikenal dengan Hutan Mangrove Tarakan terletak di Karang Rejo, Tarakan Barat. Kawasan seluas 22 hektare ini menyimpan beraneka ragam flora dan fauna. Bekantan, satwa pemalu yang sering disebut ‘Monyet Belanda’ di Tarakan jumlahnya sekitar 37 ekor. Makanan asli monyet mancung itu bukanlah pisang, melainkan pucuk daun mangrove tertentu atau pucuk bakau. Destinasi wisata lain yang menjadi favorit masyarakat Kota Tarakan yaitu Pantai Amal Lama. Selain menikmati pemandangan pantai dan sejuknya angin laut, anda bisa menikmati kuliner yang ditawarkan penduduk lokal. Menu terkenal dan jadi andalan di Pantai Amal adalah Kerang Kapah. Makanan ini dimasak secara sederhana, direbus menggunakan bumbu seperti bawang putih, sereh, dan jahe dan disajikan dengan sambal jeruk khas Tarakan yang sangat nikmat.●