
Biar banyak orang bilang Joko Widodo itu identik dengan kegaduhan, tapi menurut saya ia Presiden yang konsisten dan sangat percaya diri. Bayangkan saja, meski sejumlah kebijakannya dinilai tidak masuk akal, seperti proyek Esemka, IKN, UU Cipta Kerja dan sederat kebijakan teatrikal lainnya, tetapi ia tidak peduli. Mobil Esemka, meski dianggap proyek mimpi, pada ajang pameran mobil tahunan, 2023 lalu ikut mejeng, publik bengong, “Lho memang betulan, ada to? UU Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan cacat secara formil, ternyata tetap jalan dengan ketentuan ‘Inkonstitusional Bersyarat’, jurisprudensi yang bikin para ahli hukum geleng-geleng kepala. Proyek mercu suar IKN lebih seru lagi, meski dianggap tidak masuk akal, investornya juga belum jelas, dan bahkan ditinggal kabur oleh kepala pengelolanya, toh Jokowi ‘keukeuh’ IKN tetap jalan dan bakal menggelar perayaan HUT RI ke79 pada 17 Agustus 2024 nanti. Kebijakan teranyarnya yang juga tetap bikin gaduh adalah polemik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Program yang regulasinya baru terbit 20 Mei lalu (PP No 21/2024) lebih gak masuk akal lagi. Seperti halnya dengan jurisprudensi aneh “konsititusional bersyarat” atau proyek mobil Esemka yang semakin senyap, ketentuan Tapera membingungkan. Untuk kali pertama ada program tabungan yang penabungnya semua pekerja mulai dari ASN, TNI/Polri, karyawan BUMN dan Swasta hingga pekerja mandiri, outsourcing wajib (baca: dipaksa) menabung 3 persen dari jumlah gajinya perbulan. Apa pula hak pemerintah menghimpun dana pekerja non ASN seperti buruh pabrik dan tenaga outsourcing yang tidak berkorelasi dengan regulasi birokrasi?
Boleh jadi tujuannya, agar semua pekerja bisa punya rumah. Masalahnya dengan jumlah potongan yang 3 persen itu jika dikalkulasi rata-rata gaji pekerja Rp5 juta per bulan, maka pada 30 tahun ke depan tabungan mereka dengan asumsi bunga 9 persen pertahun tak lebih dari Rp98 jutaan saja. Rumah seperti apa pada 30 tahun yang akan datang seharga tersebut.
Jika Tapera berjalan mulus tanpa protes, maka uang yang terkumpul per tahunnya lumayan gede. Katakan misalnya jumlah pekerja di Indonesia sekitar 150 juta orang, dengan rata-rata gaji Rp3,5 juta per bulan saja, maka akan diperoleh Rp105.000 per pekerja sehingga akumulasinya Rp15,7 triliun per bulan, dan Rp189 triliun setahunnya.
Lalu, dengan kondisi aparat negara yang moralnya sudah sulit dipercaya kalau sudah bicara uang, tentu saja melahirkan pikiran liar untuk apa pemerintah memanfaatkan dana ini di tengah utang luar negeri yang melambung dan kebutuhan dana untuk IKN. Pemerintah perlu untuk meyakinkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terkait penggunaan potongan gaji pekerja.
Banyaknya kritik pedas kepada pemerintah terkait Tapera, boleh jadi kuping pihak istana rada memanas, karena itu untuk mendinginkan suasana, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bikin jumpa pers, meralat bahwa PP yang dibuat amat tergesa-gesa itu, akan digelindingkan pada 2027. Tentunya dengan asumsi pada tahun itu Jokowi masih bisa cawe-cawe.
Meminjam plesetan ala Srimulat, Tapera bakal sulit dijalankan karena ini adalah program tabungan yang “mustahal.”[]