Pemerintah ingin Suku Bajo yang mukimi daratan memiliki kartu identitas resmi. Tetapi, sejak dahulu kala, Suku Bajo hidup nomaden. Syarat penyeragaman semacam itu amat memberatkan mereka.
SUKU Bajau atau Suku Bajo sama saja. Mereka suku nomaden yang hidup di atas laut. Di atas perahu sepanjang hari. Perahu merangkap rumah. Mereka menghuni rumah panggung di atas laut Wanci, Desa Mola Raya, Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sultra. Mereka juga bisa ditemui di perairan Kaltim (Berau, Bontang), Kalsel (Kota Baru), Sulsel (Selayar), Sultra, Gorontalo, NTB, NTT (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep. Di luar sana, mereka juga bermukim di perairan Sabah, Malaysia, dan Tawi-Tawi serta Mindanao, Filipina
Sebagian besar Orang Bajo memeluk agama Islam. Oleh berbagai komunitas, Orang Bajo dikenal dengan beragam sebutan. Ada yang mengistilahkan mereka Orang Laut. Orang Jawa menyebut mereka Bujuus. Orang Melayu menyebutnya Celates. Di perairan Selat Makassar, mereka disebut Bajau atau Bajo. Secara intern, mereka sendiri menyebut dirinya Orang Sama.
Orang Bajo telah sangat dikenal sebagai manusia laut yang andal. Mereka hidup di atas dan di bawah hamparan perairan. Mengapung dan menyelam di sana. Dari anak kecil sampai orang dewasa. Agak banyak kemiripannya dengan ikan. Mereka dikenal mampu menyelam di air sangat lama. Jauh lebih tahan lama dari rata-rata. Mereka dapat bertahan sampai 13 menit di kedalaman 60 meter tanpa alat bantu napas. Rata-rata manusia hanya dapat bertahan 30-60 detik saja di dalam air.
“Kemampuan itu adalah hasil adaptasi dari kebiasaan Orang Bajo yang hampir 24 jam hidup di laut. “Secara fisik mereka beradaptasi juga,” ucap Koordinator Kelompok Studi Maritim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dedi Supriadi Adhuri. Jurnal penelitian Cell mendeteksi adanya mutasi DNA pada limpa di Orang Bajo. Saat seseorang menyelam dan menahan napas, maka akan terjadi reaksi. Detak jantung melambat, pembuluh darah menyempit dan limpa berkontraksi. Kontraksi pada limpa itu berfungsi untuk menghemat energi saat seseorang kekurangan oksigen.
Awalnya orang Bajo memang tinggal di perahu, mengapung di lautan hampir sepanjang waktu. Namun, semakin ke sini mereka mulai banyak yang tinggal di daratan. Sebagian kecil bahkan sudah memilih hidup di pesisir. Meski sudah hidup di daratan, sebagian rumah mereka biasanya masih di atas air.
Dari mana bereka berasal? Disebut-sebut berasal dari Filipina. Pendapat lain mengatakan dari Malaysia. Satu hal yang pasti, selama berabad-abad mereka hidup di lautan secara nomaden. Sejarawan dari UIN Raden Intan Lampung, Rahman Hamid, mengatakan banyak yang menganggap asal usul Orang Bajo yaitu dari Semenanjung Malaka, lalu berimigrasi ke berbagai penjuru Nusantara. Namun, ada juga yang mengatakan orang Bajo berasal dari Sulawesi Selatan dan menyebar ke wilayah lainnya.
Yang jelas, rekam jejak Orang Bajo memang belum bisa dilacak secara meyakinkan. Namun, bisa ditelusuri melalui hubungannya dengan beberapa kerajaan di Nusantara seperti Kerajaan Malaka, Luwu Siang, Makassar, Bone. Keberadaan Orang Bajo di bagian timur Nusantara selalu dikaitkan dengan Johor. Sebagaimana tertulis dalam buku Orang Laut, Raja Laut, Bajak Laut karya Adrian Lapian, dalam cerita rakyat Kaltara disebut-sebut sebagai keturunan dari pelaut Johor yang ditugaskan oleh sultan untuk mengantar putrinya, Dayang Ayesha, ke Sulu.
Mereka diceritakan takut pada orang-orang darat. Suatu hari, pemuka orang darat naksir kepada puteri dari kepala Suku Bajo. “Sejak saat itu Orang Bajau berlayar jauh-jauh karena mereka takut dikejar oleh orang darat,” tulis Adrian. Mereka berlayar dari satu titik ke titik lain. Tak berhenti menyusuri lautan dengan alam sebagai pemandu. “Pengembaraan mereka tidak mengenal batas teritorial. Arah dan tujuan pengembaraannya sepenuhnya dikondisikan oleh alam dan potensi perikanan yang mereka butuhkan,” ujar Rahman.
Revitalisasi kemaritiman macam apa?
ORANG Bajo adalah salah satu kelompok etnis minoritas yang terkena dampak pembangunan ekonomi dan perubahan lingkungan. Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah orang Bajo yang tinggal di wilayah pesisir mengalami penurunan drastis. Penyebabnya tak lain dari kerusakan lingkungan dan perubahan iklim sehingga populasi ikan menurun. Padahal, hasil tangkapan ikan merupakan sumber kehidupan utama Orang Bajo.
Pemerintah di beberapa negara juga mengimplementasikan kebijakan yang merugikan hak-hak dan keberlangsungan hidup Bajo, seperti penghapusan kebebasan berlayar dan mengumpulkan bahan makanan di laut. Selain sebagai alat transportasi, perahu tersebut juga menjadi rumah utama. Sehingga, sejatinya Suku Bajo selalu membawa rumah mereka ketika menjelajah. Dengan gaya hidup nomaden di lautan tersebut, mereka dijuluki sebagai The Sea Gypsies.
Beberapa tahun silam, pemerintah Indonesia ‘seakan’ tidak mengakui Orang Bajau sebagai warga negara. Pemerintah ingin Suku Bajo mendiami daratan sehingga mereka dapat memiliki kartu identitas resmi. Faktanya, sejak dahulu kala, Suku Bajo hidup nomaden alias berpindah tepat. Bagaimanapun, penyeragaman syarat menjadi warga negara itu amat memberatkan mereka. Akibatnya, hingga saat ini, banyak Orang Bajo kesulitan mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Seharusnya, ujar Dedi Supriadi, jika mau menerapkan kebijakan, pemerintah Indonesia bertanya dan melibatkan Orang Bajo. Itu jika serius bicara merevitalisasi kemaritiman. Harus jelas dan tanpa maksud yang melenceng di balik penggunaan istilah itu. “Kalau kita merevitalisasi budaya bahari, apa yang direvitalisasi? Untuk itu, perlu dikaji dengan cermat pengetahuan-pengetahuan mereka yang mendalam tentang laut, karakteristik laut dan sumber daya yang di dalamnya, di samping berbagai macam sistem adat yang mereka lakukan,” ujarnya.
Nyatanya, keunikan kebudayaan dan keahlian Bajo dalam memanfaatkan sumber daya laut yang ada menjadi sebuah potensi bagi pengembangan ekonomi lokal dan pariwisata. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa daerah di Indonesia, seperti Wakatobi di Sultra dan Togean di Sulteng, yang mengembangkan wisata bahari yang berfokus pada kegiatan snorkeling dan menyelam. Kegiatan ini memberi manfaat ekonomi dan membuka peluang kerja bagi masyarakat setempat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Demi kelestarian kultural, tak ada pilihan lain selain berempati kepada mereka. Sudah selayaknya pemerintah dan masyarakat perlu memberi perhatian lebih terhadap kelompok etnis Bajo. Khususnya berkenaan dengan upaya melestarikan kebudayaan mereka, sekaligus memanfaatkan potensi yang ada untuk pengembangan ekonomi dan pariwisata lokal. Dalam hal ini, kebijakan yang dibuat perlu memperhatikan hak-hak dan kebutuhan masyarakat Bajo. sehingga dapat mendukung keberlangsungan hidup mereka dan memperkuat daya saing ekonomi lokal.●(Zian)