
Peluang News, Jakarta – Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM), Teten Masduki mengaku sangat mendukung dan mengapresiasi Amartha (PT Amartha Mikro Fintek) sebagai pionir Fintech Peer to Peer (P2P) di tanah air.
Ia mengatakan, kehadiran Amartha tidak hanya sebagai pionir Fintech P2P, melainkan juga sebagai investasi online untuk terus membangun ekosistem keuangan mikro.
“Jadi, Kehadiran Amartha yang masuk di akar rumput, terutama kalangan ibu-ibu ini merupakan solusi bagi perkuatan modal usaha mikro di tanah air,” kata Teten Masduki dalam keterangan resminya, Kamis (7/3/2024).
Dengan melalui Amartha, ia berharap agar para pelaku UMKM dapat mendorong agar usahanya tersebut lebih terhubung dengan ekonomi digital yang semakin berkembang pesat.
“Baik dari sisi permodalan, investasi, dan layanan pembayarannya,” ucap Teten.
Ia mengakui bahwa hingga saat ini, rasio kredit perbankan untuk UMKM masih berada di kisaran 20 persen.
Sementara rasio kredit sejenis di luar negeri rata-rata telah berada di atas 30 persen. Dengan demikian, porsi kredit usaha mikro tercatat sebesar 22 persen, usaha kecil 33 persen, dan usaha menengah 45 persen.
“Maka, jika dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia, Indonesia masih tertinggal karena kedua negara tetangga itu sudah berada di atas 40 persen. Bahkan, di Korea Selatan sudah lebih dari 80 persen,” ujarnya.

Kendati demikian, ia tetap mengapresiasi langkah Amartha yang tidak melakukan pendekatan berbasis kolateral dalam mengucurkan kredit bagi usaha mikro dan kecil, melainkan menggunakan skema credit scoring.
“Dengan menggunakan skema tersebut, Amartha jadi lebih mengetahui dan memahami nasabahnya dan bisa membangun ekosistem pembiayaan mikro,” ungkapnya.
Apalagi, di berbagai negara lain, skema credit scoring lebih banyak digunakan sehingga tidak digunakan agunan yang memberatkan nasabah UMKM.
“Di negara lain, bank berani memberikan kredit bagi usaha mikro dan kecil, karena mereka sudah terhubung ke rantai nilai atau masuk rantai pasok industri,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti terkait rendahnya tingkat literasi keuangan pelaku UMKM yang menjadi salah satu penyebab minimnya akses lembaga keuangan terhadap sektor tersebut.
“Untuk itu, inklusi keuangan menjadi salah satu pilar dalam pengembangan UMKM,” tandasnya.
Tak hanya itu, ia juga menekankan, pihaknya akan terus melakukan berbagai langkah untuk menginisiasi kebijakan dan program dalam mengembangkan dan memperkuat ekosistem keuangan bagi UMKM.
Yang pertama dengan melakukan peningkatan akses pembiayaan KUR dan KUR Klaster, termasuk pendampingan UMKM untuk mengakses KUR.
Kedua, melakukan inisiasi implementasi Credit Scoring. Ketiga, inisiasi model pengembangan skema pembiayaan FPO (Farmer Producer Organization).
Keempat, melalui LPDB-KUMKM sebagai holding satuan kerja ultra mikro, fokus pada pelaksanaan penyaluran dan pengelolaan dana bergulir untuk koperasi baik sektor riil maupun simpan pinjam yang diteruskan ke UMKM.
“Dengan demikian, maka kunci utama dari terwujudnya ekosistem keuangan inklusif bagi UMKM adalah dengan melakukan berbagai sinergi dan kolaborasi secara komprehensif,” tuturnya.