CIANJUR—Tidak ada liburan tahun baru bagi Setya Gustima (29 tahun). Minggu-minggu pertama Januari 2022 diisi anak muda Cianjur ini mengunjungi mitra petaninya yang tersebar di Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Garut, selain Cianjur.
“Boleh dibalik full untuk kegiatan pertanian, maaf baru bisa diwawancarai hari ini,” ucap Setya ketika dihubungi Peluang, Selasa (11/1/22).
Alumni APP di Jakarta ini memilih pulang ke kampung halamannya setelah mengeluti bisnis ritel untuk membangun pertanian dan komoditas yang dipilihnya adalah jagung hibrida.
Setya sengaja memilih jagung karena komoditas yang satu ini tidak terlalu banyak pesaing dan juga memiliki potensi yang sangat besar di daerahnya.
Pria kelahiran 1992 ini mendirikan Rumah Petani indonesia tiga tahun lalu di Jalan Raya Jamali No 118, Desa jamali Kabupaten Cianjur dengan lahan milik sendiri 86 hektar dan masih ditambah lahan para petani mitra.
Setiap tahun Rumah Petani Indonesia mampu memperoduksi sekitar 4,5 ton jagung pipil (3 kali panen) dengan omzet rata-rata Rp1,5 miliar hingga Rp4,5 miliar per tahun.
Bahkan produknya sudah ada yang diekspor ke Amerika Serikat dalam bentuk frozen, walau hanya trial belum sampai satu kontainer. Ekspor belum dilakukan secara langsung masih melalui agensi.
“Kami sedang bersiap untuk mencoba ekspor ke beberapa negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab dengan target sekitar 100 ton,” ujar Setya.
Tentu perlu kerja keras untuk mencapai itu, karena menurut Setya bisnis jagung di kawasan Cianjur pasarnya masih luas. Untuk kuota jagung di lokal saja, yaitu Cianjur sendiri sebesar 300 ton per hari masih belum bisa terpenuhi.
“Kalau bisnis sayuran di Cianjur bisa kalah karena banyak banget pemainnya. Lalu, saya cari nih apa sih komoditas yang khas, tidak ada pesaing dan pasarnya luas? Setelah dicari ya, jagung ini. Setelah kami pelajari, memang benar kuota jagung di Cianjur masih 300 ton per hari itu pun tidak terpenuhi, akhirnya saya ambil di jagung,” paparnya.
Ketika ditanya apa kendala apa yang dihadapi petani ialah kebijakan pemerintah yang kerap berupa-rubah, mulai harga jagung dan harga pupuk yang mahal. Harga jagung fluktuatif memudahkan tengkulak untuk bermain. Kalau untuk pupuk subsidi bagi kelompok tani dibatasi satu kuintal, padahal kebutuhan besar.
Selain itu juga pemberian bantuan tidak sesuai peruntukan. Petani cabai dengan lahan luasnya 2.000 meter persegi dikasih traktor, misalnya. Kerap kelompok petani yang mendapatkan bantuan traktor menjualnya kembali setelah dipakai.
“Harusnya traktor bantuan disimpan oleh dinas pertanian dan kemudian bila ada kelompok petani yang membutuhkan tinggal menyewa,” imbuhnya.
Selain itu menurut Setya pemerintah sebaiknya memetakan pasar dulu baru menggerakan program, seperti petani milenial. Jangan sampai pasar tidak ada, justru produk itu dibuat. Misalnya saja, ubi ungu begitu diproduksi malah tidak ada offtaker.
“Ke depan kami juga akan mengembangkan komoditas padi karena Cianjur adalah gudang beras dan tentunya harga menguntungkan petani,” tutupnya (Irvan).