Hajat mengimpor beras ketika petani panen sungguh ironis. Harga beras di Thailand hanya Rp6.000 per liter, dan ketika sampai di Indonesia sekitar Rp7.000. Harga jual di dalam negeri Rp10.000. Sudah saatnya pemerintah mengganti sistem kuota impor dengan sistem tarif.
FATSAL kebijakan impor beras 1—1,5 juta ton kali ini sungguh bikin gaduh. Ruwet dan resek. Protes berdatangan Dari pengamat, akademisi, legislatif, bahkan Gubernur Jatim dan Jabar. Silang pendapat bahkan terjadi kalangan ‘intern’ eksekutif. Mereka menyoal logika impor yang ganjil dan tampak mengada-ada. Dari kubu proimpor, Menko Ekonomi Airlangga Hartarto dan Mendag Muhamad Lutfi pasang badan. Pada sisi lain, Dirut Bulog, Budi Waseso, menyuarakan sikap frontal: no way.
Dalih yang paling klise dan populer di balik sebuah keputusan menetapkan impor bahan pangan adalah soal high demand but less supply. Tapi apa iya selalu begitu? Konfirmasi dari data BPS berikut ini cukup menarik. Produksi beras pada 2020 sebesar 31,33 juta ton. Potensi produksi periode Januari–April 2021 sekitar 14,54 juta ton beras atau naik 26% dibanding periode yang sama tahun sebelmnya. Tidak hanya itu, panen raya juga memiliki potensi surplus pada Januari hingga April sekitar 4,8 juta ton beras.
Ditarik sedikit ke belakang, produksi beras pada 2018 mencapai 32,42 juta ton. Sedangkan konsumsinya sekitar 29,57 juta ton, dengan rata-rata per bulan di kisaran 2,46 juta ton. “Berdasarkan indikator produksi, konsumsi, dan neraca, apalagi kita lihat indikator harga di lapangan cenderung menurun; saya melihat tidak ada alasan bagi kita untuk melakukan impor beras karena stok cukup,” ujar Rektor IPB, Arif Satria.
“Saya tidak habis pikir, petani sampai bulan Mei ini akan panen raya, kok malah mau impor, kasihan nasib petani,” ujar anggota Komisi IV DPR, Daniel Johan. Terlebih, saat ini pemerintah sedang menjalankan program food estate di beberapa daerah, yang tujuan awalnya untuk memenuhi kebutuhan pangan secara nasional. “Kapan kita mau mewujudkan kemandirian, apalagi kedaulatan di bidang pangan bila seperti ini, saya mohon jangan lakukan impor disaat petani sedang panen raya,” ujar politikus PKB itu.
Silang pendapat kali ini berbeda dengan saat Buwas versus Mendag 2014-2019, Enggartiasto Lukita. Kala itu, sumber heboh berkaitan dengan gonjang-ganjing data produksi antara Bulog dan Deptan. Padahal, perbaikan metodologi perhitungan produksi telah clear pada 2015. BPS bekerja sama dengan BPPT, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN), Badan Informasi dan Geospasial, serta LAPAN menggunakan metode Kerangka Sampel Area. Metode mutakhir ini lebih objektif, akurat dan modern.
Pemerintah mengimpor karena cadangan bahan pangan utama nasional—beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, cabai dan bawang merah—tidak mencukupi kebutuhan sehingga memicu lonjakan harga. Kata Lutfi, “Impor beras 1—1,5 juta ton pada 2021 bertujuan menjaga stok pangan dalam negeri terutama saat keadaan darurat selain menjaga stabilitas harga di pasar”.
Mendag Lutfi menyebut impor bukannya tabu. Langkah nonpopulis itu diambil guna menjaga stabilitas harga pangan. bahkan bersikeras, “Kalau salah, salahkan saja saya. Tugas saya sebagai Mendag memikirkan yang tak terpikirkan, memikirkan yang terburuk sesuai tugas dan tanggung jawab saya.” Tak kepalang tanggung, Lutfi bahkan mengaku siap mundur, jika salah.
Jika yang jadi dasar perhitungan sebaran wilayah produksi, memang tidak lebih dari sepuluh wilayah provinsi yang mengalami surplus, selebihnya 24 wilayah devisit. Anggota Komisi IV DPR RI, Panggah Susanto, menilai perlu melihat dengan mempertimbangkan segala aspek, seperti ketersediaan, kebutuhan, kecukupan stok di semua wilayah.
Panggah mencermati tiga masalah penyebab kondisi tanaman pangan sulit ditanggulangi. Pertama, tingginya ancaman dari alam terhadap tanaman-tanaman pertanian. Kedua, terus berkurangnya jumlah lahan pertanian akibat alihn fungsi lahan pertanian menjadi untuk sektor bisnis lain dan hunian—sebesar 100.000 ha/tahun. Ketiga, kurang berpihaknya kebijakan pemerintah terhadap langkah-langkah pengembangan sektor pertanian terutama dalam penerapan teknologi baru di sektor pertanian seperti rekayasa genetika bibit pangan.
Faktor eksternal juga ikut memukul. Direktur Indonesia Global Justice Riza Damanik mengatakan klausul perdagangan di forum WTO dan APEC menggerus kemandirian bangsa. “Di bawah rezim WTO, hampir 10 tahun ini, negara ini tidak boleh lagi mensubsidi rakyat. Ratifikasi UU WTO pada 1995 berdampak pada semakin liberalnya perdagangan Indonesia. Ditambah lagi, pemerintah juga membuka keran liberalisasi melalui keterlibatan di Forum Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Perjanjian internasional lewat APEC atau bilateral dengan Uni Eropa juga membuat Indonesia memperluas kebun sawit, yan mengerus lahan pertanian lain.
Bagi Ekonom Senior Indef, Faisal Basri, adalah ironis jika pemerintah ngotot tetap membuka keran impor beras ketika kondisi sektor pertanian dalam negeri tengah dalam tren positif. “Kebijakan impor ini, yang biasanya dilakukan akhir tahun, sangat politis. Pemburu rente bisa menikmati setidaknya Rp2 triliun keuntungan. Kita tahu pelakunya siapa. Kalau saya lihat data, kita sudah on the right track. Indeks sudah membaik, availability, affordability juga. Tinggal tugas negara memastikan, kalau ada bencana yang kita sangat rentan, bagaimana mengonversikannya ke ketahanan pangan,” ujar Faisal.
Kebijakan impor beras dari Kemendag di tengah ketersediaan beras di dalam negeri, kata Ekonom Senior Rizal Ramli, adalah permainan kartel produk pangan yang selalu menempel di pemerintahan. “Kebijakan impor muncul di saat musim panen. Ini sistem yang kejam sekali. Praktik yang dilakukan para kartel itu seharusnya tergolong subversif. RR menyarankan Presiden harus membenahi sistem kartel ini.
Sudah saatnya pemerintah memberlakukan sistem tarif dalam impor. Namun, tampaknya pemerintah sampai sekarang keukeuh dengan sistem itu. Dicontohkan perbedaan harga beras di Thailand yang hanya Rp6.000 per liter, dan sekitar Rp7.000 ketika sampai di Indonesia. Nyatanya, harga jual beras di dalam negeri Rp10.000.
Enam tahun rezim mimpi kedaulatan pangan, ujung-ujungnya impor-impor juga. Sistem kuota impor yang ditunggangi kartel perlu diganti. Jika pakai sistem tarif, negara dapat tambahan penerimaan dan petani terlindungi. “Kalau berani dan propangan, hapus sistem kuota impor, rente puluhan triliun, dan ini jelas memiskinkan petani,” ujar mantan anggota tim panel penasihat ekonomi PBB itu.●(dd)