Penerapan teknologi dan layanan perbankan digital di Tanah Air bukanlah proses semalam. Tetapi pandemi Covid-19 memang mempercepat adaptasinya dengan sangat luas, terutama di sisi masyarakat sebagai pengguna.
Ihwal terjadinya evolusi di industri perbankan ke arah digital memang sudah diramalkan banyak pihak. Berbagai kajian bahkan jauh-jauh hari lalu sudah memprediksi jenis pekerjaan apa saja yang akan punah dan terdisrupsi akibat revolusi digital, sebagian diantaranya adalah profesi-profesi di sektor perbankan.
Dengan berbagai kebijakan pembatasan fisik untuk menghentikan laju penyebaran virus Covid-19, kita tiba-tiba seperti dipaksa menjadi harus memanfaatkan semaksimal mungkin berbagai aplikasi teknologi digital, mulai dari bekerja secara daring, bersekolah secara daring, berbelanja secara daring, meeting dan berseminar secara daring dan tentu saja ‘berbank’ secara daring.
Sejak penemuan Internet yang diklaim sebagai souvenir terbesar di abad-21 dan pesatnya perkembangan teknologi seluler, konvergensi teknologi informasi memang melaju dengan sangat pesat. Ponsel pintar kita kini sudah menjadi satu alat yang bisa menyelesaikan hampir semua kebutuhan hidup kita, mulai dari mencari makan, kendaraan, hotel, membeli tiket, bermain saham, membaca buku, jual beli mobil dan rumah, berbisnis, atau sekadar mempererat silaturahim.
Dalam kondisi itu, bank dituntut untuk dengan cepat mengadopsi teknologi informasi pada seluruh aspeknya, mulai dari aplikasi layanan nasabah, sistem, hingga di sisi back end. Desain ruang kantor bank pun banyak berubah, termasuk pada ruangan banking hall yang dituntut semakin efisien, modern dan mengecil. Ini terjadi karena jumlah nasabah yang datang langsung ke bank semakin sedikit dan beralih ke aplikasi ponsel dan komputer.
Otoritas Jasa Keuangan tentu tidak diam berpangku tangan. Regulator dan industry player memang selalu berlomba adu cepat dalam membaca tren perkembangan teknologi. Tentu saja, regulasi seharusnya tidak boleh tertinggal dari perkembangan teknologi, meski pada kenyataannya justru sering sebaliknya yang terjadi.
Mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat dan disruptif, pada tahun 2016 OJK sudah mengeluarkan regulasi berupa POJK No 38 /POJK.03/2016 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum. Kemudian, pada 2018, OJK menelurkan aturan dalam bentuk POJK No. 12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum.
Baru saja, di penghujung Agustus lalu, OJK mengeluarkan 2 aturan sekaligus, yaitu POJK No.12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum dan POJK No.13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum.
“Aturan ini diterbitkan untuk mempertegas pengertian Bank Digital yaitu bank yang saat ini telah melakukan digitalisasi produk dan layanan, bagi incumbent, transformasi, atau melalui pendirian bank baru yang langsung berstatus full digital banking,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana.
Tentang penguatan sisi teknologi informasi dan transformasi menuju era perbankan digital sebetulnya juga sudah diskenariokan dalam Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia 2020-2025. Dalam peta jalan tersebut, akselerasi transformasi digital merupakan tahap 2 dalam pengembangan perbankan nasional. (lihat Infografis).
Dengan situasi tersebut, industri perbankan memang tidak mempunyai banyak pilihan kecuali berpacu mempercepat adopsi teknologi perbankan digital atau terdisrupsi oleh perkembangan teknologi itu sendiri.
Namun demikian, menurut Heru, OJK juga tidak bisa memaksa seluruh bank untuk melakukan transformasi digital secara seragam. Sejauh mana adaptasi dilakukan tentu dikembalikan pada kapasitas, kebutuhan dan kemampuan permodalan masing-masing bank.
Yang menjadi pertanyaan, hingga saat ini, sudah sampai di mana adopsi teknologi perbankan digital di Indonesia?
Menurut Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono, evolusi layanan perbankan dapat dibagi menjadi 4 fase. Fase pertama adalah Bank 1.0 yang ditandai dengan layanan berbasis kantor fisik, kemudian fase kedua bank berbasis ATM, yaitu layanan perbankan mandiri. Kemudian, fase ketiga yaitu layanan mobile banking yang banyak disebut sebagai social banking dan fase keempat adalah model bisnis banking everywhere, yaitu augmented banking. Pada tahap ini, bank dituntut untuk dapat memfasilitasi nasabah selain melalui channel bank.
“Saat ini kita telah berada di antara fase 3 dan fase 4,” paparnya.
Potensi Besar
Secara natural pun Indonesia sebetulnya merupakan pasar yang sangat menggiurkan bagi bisnis perbankan digital.
Dengan populasi penduduk sebanyak 272 juta jiwa yang tersebar di banyak kepulauan, sementara 64% penduduknya merupakan pengguna Internet dan 92 juta penduduk belum mendapatkan akses bank dan pengguna mobile banking diperkirakan tumbuh dari 52 juta pada 2019 menjadi 88 juta pada 2023.
Data tersebut telah bercerita betapa besarnya potensi bisnis perbankan digital di Indonesia.
Tentu saja, bukan hanya bisnis perbankan digital yang tumbuh pesat. Bisnis fintech telah jauh lebih dulu masuk di pasar ini dan mampu bermain dengan sangat lincah. Pada sisi sistem pembayaran, masyarakat sudah jauh lebih familiar dengan layanan berbasis digital seperti Gojek, Ovo, atau Dana. Di sisi lending pun, pemain fintech telah sangat menjamur, sebut saja Uang Teman, Modalku, atau Propay.
Pelaku industri perbankan saat ini umumnya memang masih merasa bahwa fintech adalah mitra bagi bank. Sebab, di ujungnya, fintech tetap membutuhkan jasa bank dalam menyelesaikan transaksi pembayaran. Tetapi, cepat atau lambat, bisnis bank akan terlihat semakin ketinggalan zaman jika tidak buru-buru bertransformasi ke bank digital.
Dengan besarnya potensi pasar dan pesatnya evolusi teknologi informasi, transformasi digital telah menjadi keniscayaan bagi industri perbankan.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja optimistis, akselerasi menuju digital society akan membuka banyak peluang baru bagi perbankan. “Dengan profil nasabah yang semakin beragam, transformasi perbankan adalah suatu keharusan,” ujarnya.
Indikasi tingginya kesadaran bank untuk mengadopsi model bisnis digital setidaknya terlihat dari stagnannya pertumbuhan jumlah jaringan kantor di sebagian besar bank.
Dengan diterbitkannya regulasi perbankan digital oleh OJK, pengembangan layanan perbankan digital memang menjadi lebih sederhana. Maka, perlombaan bagi bank dalam mengadopsi layanan digital akan semakin sengit, baik pada sisi layanan maupun bisnis payment. Satu aspek yang menjadi pekerjaan rumah bagi industri perbankan untuk mengoptimalkan bisnis digital adalah bagaimana cara mendorong proses intermediasi, terutama di sisi penyaluran kredit. Tanpa itu, bank hanya bisa menikmati bisnis digital dari sisi fee based income. Padahal, sampai saat ini kontribusi pendapatan fee based relatif masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan bunga.
Tentu saja, bagi masyarakat, isu terpenting dari percepatan penerapan model bank digital adalah meningkatnya financial inclusion, semakin terbukanya akses bank, dan diperolehnya layanan perbankan yang lebih efisien, aman dan andal. (Tri)