Jakarta (Peluang) : Saat ini baru ada 388 SPBU dari 11 ribu kampung nelayan di Indonesia.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenKopUKM) menyusun sejumlah strategi yang ingin dicapai pada tahun 2023 mendatang.
Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki menyebut setidaknya ada 7 program prioritas yang menjadi fokus untuk dikejar. Di antaranya Pendataan Lengkap Koperasi dan UMKM, Rumah Produksi Bersama, Pengembangan Kewirausahaan Nasional, dan Redesign PLUT-KUMKM, Pengentasan Kemiskinan Ekstrem, Koperasi Moderen, serta Layanan Rumah Kemasan Bagi Pelaku UMKM.
Sebagai salah satu contoh konkret, menurut Teten, KemenKopUKM akan membangun 250 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBU) khusus nelayan di beberapa titik di Indonesia. Ini menjadi program Solar untuk Koperasi Nelayan (Solusi) kolaborasi antara KemenKopUKM bersama dengan kementerian dan lembaga lainnya.
“Kami ingin memperluas program Solusi Nelayan. Kami bersama dengan Kementerian BUMN, LPDB-KUMKM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ATR/BPN,” kata Teten dalam Refleksi 2022 dan Outlook 2023 Kementerian Koperasi dan UKM, di Jakarta, Senin (26/12/2022).
Hingga saat ini, menurut Teten, SPBU khusus nelayan masih minum. Bahkan, angkanya baru 388 SPBU dari 11 ribu kampung nelayan di Indonesia. Dan salah satu upaya untuk mendorong semakin banyaknya SPBU tersebut melalui program Solusi Nelayan.
“Saat ini ada 11 ribu lebih desa nelayan, desa pesisir, tapi hanya ada 388 SPBU nelayan.
Tahun 2023 SPBU untuk koperasi nelayan diperbanyak dengan target 250 lokasi atau 250 koperasi, jumlah ini cukup besar,” ungkap Teten.
Dengan program Solusi Nelayan, setiap koperasi nelayan miliki SPBU yang lebih dekat dengan desa nelayan tadi. “Ini bahkan bisa memudahkan masyarakat nelayan untuk akses pembiayaan,” sambungnya.
Lebih lanjut, Teten mengungkap, KemenKopUKM ingin membawa koperasi menjadi bagian upaya pemerintah untuk menjawab persoalan ekonomi. “Melalui program Solusi Nelayan, ini jadi bukti kami mendukung perbaikan ekonomi nelayan,” tegas Teten.
MenKopUKM mengatakan, biasanya para nelayan membeli bahan bakar lebih tinggi dari harga pasar. Hal ini dikarenakan masih minimnya SPBU yang dekat dengan sentra-sentra nelayan.
“Ini tentu dampaknya sangat besar, 60 persen biaya produksi nelayan dihabiskan untuk membeli bahan bakar. Selama ini akses mereka untuk mendapatkan solar subsidi ini bahan bakar ini yang susah, mereka harus beli dari pengecer,” ungkap Teten.
Dengan skema pembelian tersebut, dari harga solar sekitar Rp 6.800 per liter saat ini, para nelayan haris merogoh kocek lebih dalam dengan Rp 10-12 ribu per liter. Dengan pengeluaran yang makin besar, Teten menyakini turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan.
“Diharapkan program Solusi Nelayan ini bisa memotong biaya produksi nelayan hingga 30 persen dengan (membeli solar sesuai) harga SPBU,” pungkas Teten