Tahun ini gerakan koperasi Indonesia genap 76 tahun. Perayaan meriah pada setiap 12 Juli rutin digelar sesuai amanah para pendiri gerakan ini saat kongres pertama di tahun 1947. Dilihat tujuh dasa warsa itu, mestinya kita sudah bisa menikmati peran vital koperasi yang digadang sebagai soko guru perekonomian nasional. Nyatanya, dari tiga peran penting pelaku ekonomi nasional, yaitu Swasta, BUMN dan Koperasi, bisnis berbasis koperasi masih berada di level pinggiran.
Untuk lebih memberdayakan peran koperasi tidak cukup sekadar adanya goodwill pemerintah yang kita tahu setengah hati. Koperasi yang masih serba lemah di berbagai sisi, butuh pemihakan politik yang lebih kuat (polical will). Harus diberikan lahan garap yang strategis bagi pelaku usaha koperasi, sebagai upaya membedakan bahwa koperasi bukan lah korporasi. Political will-nya sudah tertuang dalam UU No 25 Tahun 1992, pasal 63, di mana pemerintah dapat menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan oleh Koperasi; menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang telah berhasil diusahakan oleh Koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya. Alangkah eloknya pasal ini bagi masyarakat koperasi.
Namun sejak UU itu disahkan pada 1992, dan hingga kini sudah akan diganti lagi, pasal perlindungan itu tak kunjung terlaksana. Sebaliknya, begitu banyak lahan-lahan garap koperasi diserobot, swasta BUMN. Jika dulu kegiatan simpan pinjam disusupi perbankan (Danamon SImpan Pinjam), kini malah lebih parah. Pegiat koperasi simpan pinjam di pedesaan banyak mengeluh karena dipaksa bersaing dengan perusahaan negara, dengan dalih pelayanan pinjaman modal untuk perempuan sejahtera.
Ketika pemerintah menerbitkan UU No 17 Tahun 2012 sebagai pengganti UU No 25/1992 tahun 1992, ada pasal-pasal tidak pas di situ, yang merugikan perkoperasian. Atas dasar pertimbangan itu, saya dan sejumlah pegiat koperasi dari Jawa Timur mengajukan uji materi UU No 17/2012 ke Mahkamah Kostitusi (MK). Kami menilai UU baru itu liberal, menegasikan sendi kekeluargaan dan kegotongroyongan yang jadi ciri khas koperasi.
Hasilnya, MK memenuhi tuntutan kami, UU No 17/2012 dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945.
Pemerintah bersama DPR seyogianya dalam tempo tiga tahun, sudah harus mengajukan revisi UU Koperasi yang baru.
Kini setelah 9 tahun sejak UU No 17/2012 dianulir MK, wacana UU Koperasi baru masih saja terus berputar. Masih belum jelas kapan regulasi tersebut mendapat pengesahan.
Jika proses pembuatan UU No 17/2012 terkesan jalan sendiri, kini pemerintah mengundang kontribusi pemikiran para stakeholder koperasi, untuk UU baru. Dalam hal ini Dekopin secara intens ikut membahas pasal-pasal yang akan disandingkan dengan RUU Koperasi versi pemerintah. Masyarakat koperasi yang belakangan makin solid berkomunikasi melalui berbagai group media sosial, dalam pandangan saya makin tidak sabar menunggu lahirnya UU Koperasi baru. Perayaan Hari Koperasi ke 76 tahun ini, saya kira dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk menegaskan keberpihakan terhadap perkoperasian. Tidak hanya sekadar good will. Salam.