Sebulan setelah Pemilu, IHSG dan nilai tukar rupiah keok. Ini jauh dibawah perkiraan banyak pihak yang awalnya memperkirakan kemenangan petahana versi hitung cepat memberi angin segar bagi perekonomian.
Hampir seluruh lembaga survei lewat quick count (QC) meyakini Jokowi kembali menang dalam kontestasi Pilpres 2019. Kabar ini segera direspons positif pasar dengan penguatan IHSG yang ditutup di level 6.507,22 poin pada 18 April atau satu hari setelah Pemilu. Ibarat koor, media-media arus utama dengan mengutip pendapat dari para pelaku pasar maupun lembaga riset keuangan memberitakan bahwa penguatan tersebut merupakan bukti adanya Jokowi Effect.
DBS Group Research misalnya, seperti dilansir situs cnbcindonesia.com, menegaskan peringkat overweight untuk Indonesia, dan meningkatkan target IHSG dari 6.500 menjadi 6.900 sampai akhir tahun ini. Sekadar informasi, di pasar saham rekomendasi overweight adalah prediksi ketika saham bakal naik melebihi sekumpulan saham yang menjadi patokan. Riset itu juga menjelaskan, dengan kemenangan petahana, investor dapat mengetahui apa yang bisa diharapkan berdasarkan rekam jejaknya. Yang pasti, proyek-proyek infrastruktur akan terus berlanjut.
Senada seirama dengan DBS Research, perusahaan manajemen investasi PT Bahana TCW Investment Management meyakini dengan kemenangan petahana akan membawa dampak positif ke pasar keuangan domestik. Net buy asing bahkan diperkirakan akan melampaui US$6 miliar atau sekitar Rp 84,35 triliun, lebih besar dari 2018.
Namun demikian, belum genap sebulan puja-puji atas hasil pemilu versi QC, prediksi Jokowi Effect rontok. Pada penutupan perdagangan saham 15 Mei lalu, mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG turun sebesar 1,49% ke posisi 5.980, atau merosot 3,4% secara year to date (Desember 2018-Mei 2019). Alih-alih menuju 6.900, IHSG justru menjauh dari 6.000.
Data Bank Indonesia, seperti dikemukakan Gubernur BI Perry Warjiyo, modal asing keluar Indonesia sebesar Rp11,3 triliun hanya dalam tempo tiga hari, 13-16 Mei. Rinciannya, Rp7 triliunan di pasar SBN dan sisanya Rp4 triliun lebih di pasar saham. BI menilai, cabutnya dana asing tersebut lebih dikarenakan ketidakpastian global akibat ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China. Pada sisi lain, ini membuktikan bahwa Jokowi Effect tidak sekuat yang dibayangkan sebagian pihak dalam menghadapi tekanan eksternal.
Pelemahan tidak hanya terjadi di pasar keuangan, tetapi mulai merembet ke sektor riil. Ini diakui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang dinobatkan sebagai Menteri Keuangan Terbaik Dunia. Menkeu menilai tanda-tanda penurunan ekonomi dari seretnya penerimaan negara terutama dari pajak. Per April 2019, pendapatan negara sebesar Rp530,7 triliun, atau hanya tumbuh 0,5% dibanding periode sama 2018 Rp528,1 triliun. Jumlah itu terlalu kecil dibanding pertumbuhan pada April 2018 sebesar 13,3% dan April 2017 20,5%.
Setali tiga uang dengan penurunan IHSG, per 15 Mei 2019 Rupiah ditutup melemah di tengah meredanya perang dagang antara AS dan China. Rupiah masih menjadi mata uang terlemah kedua di antara mata uang Asia. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah melanjutkan pelemahan sepanjang 3 hari berturut-turut pada level Rp14.463 per dolar AS terdepresiasi 0,201% atau 29 poin di saat mayoritas mata uang Asia bergerak di zona hijau.
Faktor Domestik
Merosotnya kinerja pasar keuangan dan sektor riil tidak melulu disebabkan faktor eksternal seperti sering dikemukakan para pejabat Pemerintahan. Perlu sikap obyektif dalam melihat hal ini. Janganlah ketika kinerjanya bagus langsung mengklaim hal itu merupakan hasil dari strategi Pemerintah. Namun jika kinerjanya memburuk, lantas mengutuk faktor eksternal.
Neraca perdagangan yang tekor merupakan biang keladi dari
keruwetan tersebut. Data Badan Pusat Statitistik (BPS), merilis neraca perdagangan pada April 2019
mencatatkan defisit hingga US$2,5 miliar. Defisit perdagangan terburuk dalam
sejarah Indonesia. Defisit itu disebabkan
turunnya ekspor senilai US$12,6 miliar atau 13,1% dan impor turun 6,58%.
Pelemahan di pasar modal dan nilai tukar rupiah yang tengah terjadi membuktikan para investor lebih mempercayai data-data kuantitatif seperti neraca perdagangan daripada upaya pencitraan yang cenderung glorifikasi. Adalah tugas Pemerintah untuk membereskan faktor-faktor domestik tersebut daripada sibuk berdalih semua pemburukan disebabkan faktor global. Jadi, masih yakin dengan Jokowi Effect? (Kur).