hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Robohnya Daya Beli Kami

Deflasi beruntun dalam tiga bulan terakhir mencerminkan lemahnya kemampuan konsumsi masyarakat, terutama di tingkat akar rumput.

Indonesia diprediksi akan menyusul negara lainnya memasuki resesi. Dikatakan menyusul karena angka pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 baru akan diumumkan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik  (BPS) pada awal November nanti. Namun demikian, indikasi resesi sudah semakin kuat. Bahkan, Kementerian Keuangan pun memproyeksikan ekonomi di kuartal III akan minus 2,9% sampai minus 1%. Sepanjang tahun ini, diprediksi ekonomi minus 1,7% sampai minus 0,6%.

Lesunya ekonomi yang berdampak pada anjloknya daya beli tercermin dalam laporan BPS yang menyatakan terjadinya deflasi pada September 2020 sebesar 0,05%. Ini berarti sudah tiga bulan berturut-turut sejak Juli lalu terjadi deflasi. Pada Agustus 2020 deflasi sebesar 0,05% dan pada Juli juga terjadi deflasi sebesar 0,01%.

Deflasi terjadi karena adanya penurunan harga yang ditunjukkan oleh turunnya beberapa indeks kelompok pengeluaran, yaitu: kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,37%; kelompok pakaian dan alas kaki sebesar 0,01%; kelompok transportasi sebesar 0,33%; dan kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,01%.

Terjadinya deflasi selama tiga bulan terakhir menyebabkan tingka inflasi tahun berjalan cukup rendah yakni sebesar 0,89%. Dari 90 kota Indeks Harga Konsumen (IHK), terdapat 56 kota yang mengalami deflasi dan 34 kota mengalami inflasi.

Tiga bulan berturut-turut terjadi deflasi jelas bukan mencerminkan ekonomi yang sehat. Apalagi, penyebab deflasi bukan karena tercukupinya pasokan barang atau jasa, tetapi karena lemahnya daya beli. Konsumen sudah tidak memiliki daya untuk membeli barang sehingga produsen pun terpaksa menurunkan harga jual.

Sinyalamen melemahnya daya beli masyarakat yang tercermin dalam hattrick deflasi tersebut diungkapkan Kepala BPS Suhariyanto.  “Karena terjadi deflasi berturut-turut, artinya triwulan III daya beli masih sangat rendah,” kata Suhariyanto dalam video conference, di Jakarta, awal Oktober lalu.

Ia menambahkan, deflasi yang terjadi pada September 2020 dikarenakan penurunan harga daging ayam ras, telur ayam ras, bawang, dan beberapa jenis sayuran seperti tomat dan cabai rawit. Dari sisi pasokan sebenarnya mencukupi, namun karena lemahnya daya beli sehingga harga jual turun.

Pesimisme Konsumen

Lemahnya daya beli masyarakat juga tercermin dari indeks keyakinan konsumen (IKK) yang berada di level pesimis. Survei konsumen Bank Indonesia (BI) menunjukkan IKK per Agustus 2020 tercatat di level 86,9 poin, atau naik tipis dibanding Juli 2020 sebesar 86,2 poin. Dalam IKK, angka indeks dibawah 100 mencerminkan pesimisme konsumen. “Survei Konsumen BI pada Agustus 2020 masih berada pada zona pesimis (<100),” ucap Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko beberapa waktu lalu.

Peningkatan IKK dialami dari responden dengan penghasilan Rp2,1-3 juta dan Rp3,104 juta. Keduanya membaik dari 87,6 ke 88,6 dan 81,6 ke 83,7. Namun, IKK bagi kelompok penghasilan lain seperti Rp4,1-5 juta terus turun. Dari 86,7 ke 85,2 per Agustus 2020. Penurunan ini terjadi usai IKK kelompok ini meningkat pada Juni 2020. Dari 79,8 di Mei menjadi 88,1 Juni 2020.

Sama halnya dengan kelompok penghasilan di atas Rp5 juta. Pada Mei ke Juni sempat membaik dari 71,6 menjadi 84,4. Pada Juli 2020 naik lagi menjadi 89,7 tetapi turun menjadi 83,7 ddi Agustus 2020. Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) pada Agustus 2020 terus turun. Dari 121,7 poin di Juli 2020 menjadi 118,2 poin di Agustus 2020. Sementara itu, Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) tercatat naik. Dari 50,7 poin menjadi 55,6 poin di Agustus 2020. “Pelemahan IEK disebabkan oleh ekspektasi terhadap penghasilan, ketersediaan lapangan kerja, dan kegiatan usaha ke depan yang tidak sekuat bulan sebelumnya,” ucap Onny.

Simpanan Naik Meski daya beli masyarakat cenderung turun, namun ternyata jumlah uang simpanan di perbankan justru naik. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per Agustus 2020, terdapat 330.811.482 rekening atau meningkat 9,6% secara year on year (YoY). Dari jumlah rekening tersebut, terdapat sebanyak Rp6.563 triliun dana yang ditempatkan dalam berbagai instrumen antara lain giro, tabungan, dan deposito. Jumlah dana itu naik sebesar 8% YoY.

Menurut Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah, meningkatnya dana simpanan di perbankan karena secara umum  masyarakat menunda konsumsi. Hal ini terutama terjadi pada masyarakat berpenghasilan menengah tinggi. “Ini terutama yang memiliki tabungan besar di atas ratusan juta, karena umumnya pendapatan mereka masih tetap tetapi konsumsi turun,” ujar Piter. Data distribusi simpanan LPS per Agustus 2020, kelompok simpanan dibawah Rp100 juta total simpanannya sebesar Rp895 triliun. Jumlah ini hanya naik sebesar 1,3% year to date atau YTD (Januari 2020 – Agustus 2020). Sedangkan kelompok simpanan lebih dari Rp5 miliar memiliki total simpanan sebesar Rp3.186 triliun. Kelompok ini mencatatkan pertumbuhan sebesar 13,5%. Ini mengonfirmasi bahwa masyarakat menengah atas memang memarkir dananya di perbankan. Sementara masyarakat tingkat akar rumput (simpanan di bawah Rp100 juta) sudah semakin tipis jumlah tabungannya di bank.

Dampak Daya Beli Turun

Bank Dunia merilis laporan terbaru bahwa sepertiga orang Indonesia makan lebih sedikit karena kekurangan uang akibat pandemi Covid-19. Lembaga ini juga memproyeksi akan ada tambahan 5-8 juta orang miskin baru pada tahun ini.

Laporan Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik menyebut proporsi rumah tangga yang mengalami kekurangan bahan pangan sebenarnya sudah mulai menurun pada Mei dan Juni dibandingkan bulan-bulan sebelumnnya. Namun, masih ada seperempat dari rumah tangga yang disurvei melaporkan kekurangan bahan pangan. “Kerawanan pangan tampaknya didorong oleh penurunan pendapatan yang terkait dengan krisis,” tulis Bank Dunia dalam laporan yang dirilis akhir September 2020.

Selain Indonesia, Bank Dunia juga menemukan kerawanan pangan akibat penurunan pendapatan di Papua Nugini, Mongolia, dan Myanmar. Indonesia berada di urutan kedua setelah Papua Nugini yang dinilai rawan.

Terkait dengan tingkat kemiskinan, BPS per Maret 2020 mencatat angka kemiskinan melonjak menjadi 26,42 juta orang, atau 9,78% dari total penduduk. Angka kemiskinan itu  meningkat 1,63 juta orang dari September 2019 yang mencapai 24,79 juta orang. Persentase Maret 2020 ini naik 0,56% dari September 2019 yang hanya mencapai 9,22%.

Perhitungan angka kemiskinan yang digunakan BPS menggunakan garis kemiskinan Rp452.652 per kapita per bulan. Komposisi garis kemiskinan didominasi 73,86% dari kelompok makanan seperti beras sampai rokok kretek filter dan sisanya 26,14% bukan makanan seperti biaya perumahan, bensin, listrik sampai pendidikan.

Peningkatan tingkat kemiskinan di kota mencapai 1,12% dari September 2019 yang berkisar 6,56% menjadi 7,38%. Peningkatan di desa lebih landai dengan kisaran 0,22% dari 12,60% menjadi 12,82%.  Dari 34 provinsi, 22 diantaranya mengalami kenaikan tingkat kemiskinan.

Pandemi Covid-19 memperburuk kondisi perekonomian terutama bagi kalangan masyarakat bawah. Kegagalan menangani pandemi justru akan memperparah kondisi mereka. Oleh karenanya dibutuhkan keberpihakan negara untuk menangani pandemi secara benar jika ingin serius membangkitkan ekonomi rakyat kecil. (Kur).

pasang iklan di sini