“The problems within ourselves, it is whether we have vission, convidence, and disciplines to enter aggressively into the real world, or wait until it overwhelms us” (Ian MacPherson)
Setelah dua dekade era reformasi berjalan, sudah banyak perubahan berarti yang dirasakan oleh bangsa ini. Salah satu yang cukup dirasakan adalah kehidupan berdemokrasi serta hak azasi manusia yang makin dihargai. Di lapangan hokum juga kita rasakan semnakin banyaknya aparat pejabat pemerintah pusat dan daerah yang tertangkap tangan karena penyalahgunaan kekuasaan. Di antara banyak perubahan tersebut memang ada yang terbilang berhasil, agak berhasil dan ada yang gagal. Tapi banyak juga yang kebablasan.
Meskipun demikian, ada pula segi kehidupan yang tidak/belum tersentuh oleh reformasi, sebut saja koperasi. Koperasi telah dikenal di Indonesia lebih dari satu abad (1896), secara resmi telah lebih dari tujuh dasawarsa menjadi program nasional dengan masuk dalam konstitusi (UUD1945), demikian pula telah lebih dari tujuh dasawarsa memiliki organisasi gerakan koperasi (SOKRI kemudian menjadi DEKOPIN) juga lebih dari tujuh dasawarsa (1947).
Dengan dukungan modal perangkat seperti ini, inilah kondisi koperasi pada saat ini: Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah koperasi aktif saat ini berjumlah 150.223 unit. Sedangkan jumlah anggota adalah 37.783.160 orang. Jumlah koperasi dan anggota perorangannya ini konon merupakan jumlah koperasi terbesar di dunia. Dari jumlah koperasi yang aktif tersebut, menurut informasi terakhir hanya 11% saja yang melaksanakan Rapat Anggota Tahunan secara teratur atau tinggal sekitar 16.500 unit koperasi yang terbilang masih sehat. Dari jumlah koperasi sebanyak itu, sebagian besar berjenis Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Kegiatan simpan pinjam juga dilakukan dalam bentuk Unit Simpan Pinjam (USP) oleh Koperasi Serba Usaha (KSU), jenis koperasi yang seharusnya bisa melakukan kegiatan pada setor riil, yang ternyata kurang berjalan. Adapun sumbangannya pada PDB menurut informasi terakhir baru sebatas, 3,9% (?).. Kondisi mikro dan makro seperti ini tentu masih amat jauh dari keinginan untuk menjadikan koperasi sebagai “soko guru perekenomian nasional.”, suatu cita-cita yang telah menjadi obsesi sejak lebih tujuh dasawarsa lalu.
Beberapa Permasalahan.
Koperasi dewasa ini menghadapi berbagai permasalahan, sejak masalah yang paling elementer, yaitu pemahaman yang masih terbatas tentang hakekat koperasi sebagai organisasi ekonomi sosial yang mandiri hingga ke koperasi dalam menghadapi pasar bebas, sehingga banyak terjadi banyak penyimpangan. Sebut saja KSP-KSP yang lebih banyak melayani non anggota ketimbang anggotanya sendiri, di samping jenis koperas ini juga banyak yang melaksanakan usaha “investasi” dengan menghimpun dana masyarakat” yang semuanya ini tidak sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang cenderung dibiarkan, tanpa pengarahan apalagi sanksi. Dalam fungsi utamanya sebagai perusahaan untuk melayani kebutuhan anggota dan masyarakat, kebanyakan koperasi belum dikelola secara professional berbasiskan kaidah-kaidah ekonomi yang modern. Ketergantungannya kepada Pemerintah, baik dari aspek pembinaan/kebijakannya maupun dari penyediaan fasilitas untuk pendidikan/pelatihan dan terutama permodalannya masih sangat kuat, yang tentu tidak sejalan dengan prinsip kemandirian koperasi. Peranan Pemerintah sebagai akibat dari Amandemen UUD 1945 tahun 2001/2002 yang meniadakan peranan koperasi dalam konstitusi, yang seharusnya terbatas sebagai pengawas dan regulator, ternyata masih amat kuat. Sementara peranan DEKOPIN, yang seharusnya mendampingi, membela dan memfasilitasi berbagai kebutuhan/kepentingan koperasi anggotanya, dalam keadaan “lumpuh ”. Sumber dana yang seharusnya berasal dari koperasi-koperasi anggotanya untuk membiayai kegiatannya, sulit diharapkan karena koperasi anggotanya pada umumnya juga dalam kondisi “ekonomi lemah,” apalagi koperasi-koperasi ini tidak merasakan “sentuhan tangan” DEKOPIN. Akhirnya organisasi tunggal gerakan koperasi ini sepenuhnya menggantungkan diri pada APBN, yang berarti posisinya sebagai lembaga yang mandiri dan independen menjadi kabur. Pucuk pimpinan DEKOPIN yang telah menjabat selama 20 tahun ( sejak 1998, sementara Anggaran Dasarnya hanya membatasi 2 periode, a 5 tahun) tanpa mampu menjadikan organisasi koperasi ini sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial anggotanya, namun toh masih juga tetap betah bertahan, tanpa seorangpun dari gerakan koperasi yang mampu (atau “berani”) menggugatnya.
Dalam kondisi pengembangan dan pembinaan koperasi seperti ini yang mengindikasikan koperasi masih serba lemah, dari segi kelembagaan, idiologi maupun ekonominya sementara kebijakan otoritas koperasi tidak jelas arahnya, bagaimana mungkin kita mau bicara tentang koperasi dalam menghadapi pasar bebas yang penuih persaingan keras?
REFORMASI ATAU…….
Berbagai permasalahan yang disebutkan di atas yang menjadikan koperasi dalam kondisi “jalan di tempat”, pada saat ini cenderung dibiarkan dalam keadaan “statusquo”. Masing-masing pihak –gerakan koperasinya, DEKOPINnya maupun Pemerintahnya- justru terkesan “menikmati” keadaan ini, tak terusik dengan hiruk pikuk di luaran di mana berbagai lembaga/institusi sedang berlomba-lomba mengadakan perubahan, perbaikan dan penemuan sistem atau metoda baru dalam upaya meningkatkan kinerjanya. Sehubungan dengan hal ini sungguh tepat apa yang diungkapkan Ian MacPherson, Ketua Tim Perumus Jatidiri Koperasi ICA 1995 (ICIS, ICA Cooperative Identity Statement), yang menyatakan: “Masalahnya tergantung pada kita sendiri, apakah kita punya wawasan, kepercayaan diri, serta disiplin dalam memasuki dunia nyata dengan agresif, atau menunggu hingga dunia nyata menggulung kita.”. Ya masalahnya apakah koperasi bersedia mereformasi diri terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi hingga menjadi lembaga ekonomi dan sosial yang sehat, kuat, modern dan mandiri sebagai persaratan untuk dapat memasuki “dunia nyata”, atau membiarkan dirinya seperti saat ini, yang lambat atau cepat akan digulung oleh “dunia nyata”. Tinggal pilih!.