Setahun lalu di sela peluncuran buku Bung Hatta yang ditulis oleh cucunya Tri San Zulfikar, saya pernah mengusulkan kepada anggota DPR-RI Fadli Zon — yang kebetulan hadir pada acara itu– agar ilmu koperasi bisa diajarkan kembali di bangku SLTP atau SLTA. Syukur kalau bisa masuk dalam kurikulum pendidikan di perguruan tinggi. Permintaan yang sama pernah saya ajukan kepada Menteri Koperasi, karena kini semakin banyak koperasi tumbuh namun makin banyak pula masyarakat yang tak memahami apa arti koperasi. Boleh jadi mereka tahu nomenklatur koperasi, tetapi tidak tahu esensi dan cara kerja koperasi.
Begitulah, walaupun the founding fathers telah menempatkan koperasi secara terhormat dalam konstitusi (UUD 1945 ), sebuah bangun usaha bersama atas azas kekeluargaan, namun hingga kini koperasi tetap belum beranjak dari tempatnya yang terpojok, badan usaha serba lemah, baik manajemen, sumber daya manusia maupun permodalan. Celakanya kelemahan koperasi justru seringkali dihembuskan oleh aparat pemerintah yang membidangi masalah perkoperasian itu sendiri.
Dalam perayaan Hari Koperasi ke 70 nan meriah bulan Juli lalu di Makassar, kita kembali mendengar laporan ambigu dari pemerintah bahwa koperasi terus tumbuh dan jumlahnya mencapai 200 ribu unit, namun hanya 50% saja yang melakukan Rapat Anggota Tahunan (RAT). Jika ada koperasi yang tidak menggelar RAT tentu ada yang tidak beres di tubuh koperasi tersebut atau sedang sakit.
Koperasi yang mengalami sakit, boleh jadi karena sulit bersaing dengan pasar sehingga usahanya mandeg, tetapi fakta lain menyebut koperasi sakit memang sudah salah niat sejak awal didirikan, ada yang hanya ingin mengejar bantuan sosial pemerintah dan banyak pula yang hanya menarik dana masyarakat.
Adalah tugas pemerintah untuk tidak membiarkan koperasi sakit berkeliaran. Pemerintah punya otoritas untuk membenahi bahkan membubarkan koperasi sakit.
Menurut hemat saya, koperasi yang didirikan secara genuine dengan basis anggota yang jelas juga bisa mengalami sakit manakala mengabaikan faktor pendidikan. Melalui pendidikan dan pelatihan yang kontinyu, anggota dapat mewujudkan tata kelola koperasi yang baik (good cooperatives governance).
Dalam kerangka kebangsaan, pendidikan koperasi juga merupakan suatu yang urgent karena kita dituntut untuk menjaga amanah konstitusi. Kita patut bangga karena hanya Indonesia satu-satunya negara yang menempatkan prinsip koperasi dalam konstitusinya.
Masalahnya, apakah kebanggaan itu sesuai dengan kenyataan yang berlangsung kini? Jika yang terjadi justru sebaliknya, sudah waktunya kalangan praktisi, pelaku dan pengamat dan juga pemerintah perlu duduk bersama lagi membenahi perkoperasian kita yang masih centang perenang. Itupun jika kita masih sepakat bahwa soko guru perekonomian negeri ini adalah koperasi.