Tertulis: 인다우 미아노 찌아찌아 Dibaca: Indau miano Cia-Cia Artinya: Saya orang Cia-Cia. Tipe huruf seperti itu bukan Cina, bukan Jepang. Aksara Hangeul Korea seperti itu menghiasi papan nama dannnama jalan di Baubau, Buton Selatan. Ditulis dengan aksara Korea, tapi itu bahasa Cia-Cia.
SUATU siang di Kampung Karya Baru. Seorang bocah menulis huruf kanji di secarik kertas. Di serambi sebuah rumah papan beratap sirap. Bukan aksara Cina. Bukan pula Jepang. Melainkan aksara dari Negeri Ginseng, Korea. Aneh? Tidak. Itu pemandangan biasa di kampung yang jaraknya 20 kilo arah timur Kota Baubau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Populasi suku Cia-Cia lebih dari separuh Kota Baubau yang saat ini 154 ribu jiwa.
Suku Cia-Cia merupakan salah satu suku pedalaman asli Indonesia. Adapun Buton sendiri terkenal dengan sejarahnya sebagai pusat penyebaran agama Islam di masa lampau. Dalam keseharian, masyarakat Cia-Cia menggunakan bahasa Wolio atau bahasa Buton (alias Butung) Selatan. Tapi mereka sekaligus penutur aktif bahasa Cia-Cia. Bahasa Cia-Cia adalah sejenis bahasa Austronesia. Cia-Cia juga disebut bahasa Buton, Butung, atau Boetoneezen (penyebutan ala Belanda).
Menurut kisah lama, penutur bahasa Cia-Cia di Binongko berketurunan bala tentara Buton. Nama bahasa ini berasal dari perkataan “cia” yang berarti “tidak”. Bahasa Cia-Cia digunakan di beberapa daerah di Pulau Buton seperti Sampolawa, Wacuata (Batu Atas), Pasar Wajo, Pulau Binongko, Lande, Lakaliba, dan Batauga. Tahun 2005, terdata 80.000 orang penutur bahasa Cia-Cia, 95% di antaranya beragama Islam.
Terusik menemukan relasi budaya dan bahasa Korea dengan Cia-Cia, Syahrir Ramadhan, seorang peneliti, menemukan jejak krinoka yang menarik. Bahwa suku Cia-Cia, khususnya di Kampung Karya Baru, awalnya dianggap minoritas dan terisolasi di Buton. Sejak dahulu mereka dianggap sebagai suku terbelakang, tidak berpendidikan, dan tidak layak mendapatkan “panggung” di lingkungan lebih luas di Buton. “Mereka minoritas yang terpinggirkan,” kata Syahrir.
Dari penelitian Syahrir diketahui, orang Cia-Cia di Karya Baru berasal dari Kecamatan Sampolawa di Buton Selatan. Migrasi mereka dilakukan secara paksa oleh tentara, pada 1969. Mereka digiring untuk melakukan sebuah kerja rodi, yakni membangun perkampungan baru yang disebut Resettlement 11 Karya Baru. Oleh penduduk setempat (kaum anshar), keberadaan mereka tentu saja dianggap sebagai warga pendatang, dan kurang diterima secara sosial.
Bahasa-ibu Warga Cia-adalah bahasa Wolio—hanya saja penulisannya makin mereka lupakan karena bahasa Indonesia diajarkan dengan abjad Latin di sekolah. Sejatinya, keadaan bahasa di Pulau Buton tergolong rumit. Untuk wilayah sekecil itu, di Buton terdapat 90 dialek. Jauh lebih bermasalah dibading 8-9 ragam bahasa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di antara logat-logat Cia-Cia termasuk Kaesabu, Sampolawa (Mambulu-Laporo), Wabula dan Masiri dan logat Masiri yang memiliki koleks kosa kata paling banyak.
Bahasa Cia-Cia ‘terselamatkan’ berkat perhatian serius Wali Kota Baubau, Mz. Amirul Tamin (2003-2013). Ia risau mendengar pernyataan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, yang menyebut beberapa bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Amirul Tamin langsung ingat bahasa Cia-Cia. Pemkot Baubau berupaya mencari aksara yang cocok. Awalnya dipertimbangkan menggunakan aksara Arab. Namun, tidak semua bunyi konsonan bahasa Cia-Cia bisa ditulis dengan huruf Arab.
Pada 2005, bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pemkot Baubau menggelar “Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara” di Baubau. “Salah satu pesertanya asal Korea, Prof. Chun Thay Hyun. Ia tertarik dengan paparan tentang keragaman bahasa dan adat istiadat di wilayah bekas Kesultanan Buton. Tiga tahun kemudian, sebuah lembaga dari Korea, Hunminjeongeum Research Institute, datang ke Buton atas saran Prof. Chun Thay Hyun.
Para antropolog Korea meneliti lebih dalam mengapa terdapat banyak kemiripan antara bahasa kampung ini dengan bahasa mereka. Lagipula, hentakan ketika berbicara bahasa Cia-Cia hampir mirip dengan bahasa tutur Korea. Lalu, terjalin kerja sama antara Pemkot Baubau dan Hunminjeongeum Research Institute.
Lembaga kajian bahasa Korea inilah yang menyusun bahan ajar kurikulum muatan lokal mengenai bahasa Cia-Cia dengan huruf Hangeul Korea. Ditindaklanjuti dengan pertukaran pelajar, pertukaran guru, penelitian, hingga pertukaran kebudayaan. Kini, bahasa Korea sudah diajarkan di sekolah-sekolah di Kecamatan Sorawolio. Khusus di SD Karya Baru, bahkan pernah datang guru bahasa yang orang Korea asli. Meski begitu, bahasa lisan mereka tetap bahasa Indonesia.
Dari anak SD kelas 4 hingga SMA, aksara adaptasi dari huruf Hangeul Korea ini diajarkan di sekolah berbasis komunitas Cia-Cia. Para siswa pun mempelajari aksara unik ini dengan antusias. Maka, tak heran jika seorang bocah tiba-tiba menulis huruf kanji di selembar kertas di serambi sebuah rumah papan beratap sirap. Meski tak 100 persen lafal bahasa Cia-Cia dapat diaplikasikan, nyatanya aksara Hangeul-lah yang paling mampu mengkonversi bahasa Cia-Cia ke dalam tradisi tulis.