Pemerintah menargetkan produksi kendaraan bermotor listrik pada 2030 dapat mencapai 600 ribu unit untuk roda 4 atau lebih, serta 2,45 juta unit untuk roda 2. Sementara pasar masih memerlukan waktu untuk menerima kehadiran kendaraan ramah lingkungan tersebut.
Industri otomotif nasional menapaki babak baru dengan semakin banyaknya pabrikan yang menghadirkan kendaraan listrik di Tanah Air. Ini sesuai dengan keinginan Pemerintah seperti dalam Perpres No 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.
Data Kementerian Perhubungan menyebutkan pada 2021, terdapat beberapa perusahaan yang sudah melaksanakan Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) dengan jumlah kendaraan sebanyak 7.526 unit.
Sementara untuk mobil listrik yang sudah mengaspal pada tahun lalu yaitu Hyundai Ioniq EV, Hyundai Kona Elektrik, All New Nissan Leaf, DFSK Gelora E, dan MG 5 EV. Pada tahun ini, jumlahnya semakin bertambah dengan masuknya Lexus UX 300e, Tesla, dan Toyota Camry Hybrid.
Selain sesuai dengan tren otomotif global yang berorientasi pada penggunaan energi ramah lingkungan, penetrasi mobil listrik juga ditunjang oleh komitmen pemerintah. Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan, Pemerintah memiliki komitmen yang jelas dalam pengembangan kendaraan listrik.
“Dalam Rencana Pengembangan Industri Nasional (RIPIN), prioritas pengembangan industri otomotif pada periode 2020 – 2035 adalah pengembangan kendaraan listrik beserta komponen utamanya seperti baterai, motor listrik, dan inverter,” kata Agus Gumiwang, seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Perindustrian.
Seperti diketahui, Pemerintah telah menetapkan peta jalan (roadmap) pengembangan industri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV dan Perhitungan Tingkat Kandungan Lokal Dalam Negeri (TKDN).
Regulasi ini berfungsi sebagai petunjuk atau penjelasan bagi pemangku kepentingan industri otomotif terkait strategi, kebijakan dan program dalam rangka mencapai target Indonesia sebagai basis produksi dan ekspor hub kendaraan listrik.
Pemerintah menargetkan produksi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) pada 2030 dapat mencapai 600 ribu unit untuk roda 4 atau lebih, serta 2,45 juta unit untuk roda 2. ”Dari produksi sebesar itu, diharapkan mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 2,7 juta ton untuk roda 4 atau lebih dan sebesar 1,1 juta ton untuk roda 2,” ujar Menperin.
Untuk memacu industrialisasi mobil listrik pemerintah memberikan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal bagi konsumen, seperti pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) sebesar 0% (PP No 74/2021), pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor (BBN-KB) sebesar 0% untuk KBLBB di Pemprov DKI Jakarta (Pergub No 3/2020).
Selanjutnya, BBN-KB sebesar 10% Mobil Listrik dan 2,5% Sepeda Motor Listrik di Pemprov Jawa Barat (Perda No. 9/2019), Uang muka minimum sebesar 0% dan suku bunga rendah untuk kendaraan listrik (Peraturan BI No 22/2020), diskon penyambungan dan penambahan daya listrik, dan sebagainya.
Sementara itu, bagi perusahaan produsen mobil lsitrik dapat memanfaatkan berbagai fasilitas seperti Tax Holiday atau Mini Tax Holiday (UU 25/2007, PMK 130/2020, Per BKPM 7/2020), Tax Allowance (PP 18/2015 Jo PP 9/2016, Permenperin 1/2018), Pembebaasan Bea Masuk (PMK 188/2015), Bea Masuk Ditanggung Pemerintah, serta Super Tax Deduction untuk kegiatan R&D (PP 45/2019, dan PMK No.153/2020).
Untuk mengakselerasi penggunaan kendaraan listrik di dalam negeri, pemerintah akan menetapkan peraturan tentang peta jalan pembelian kendaraan listrik di instansi pemerintahan. Dalam roadmap yang dirancang hingga tahun 2030 tersebut, diperkirakan pembelian kendaraan listrik untuk roda 4 akan mencapai 132.983 unit, sedangkan untuk kendaraan listrik roda 2 akan mencapai 398.530 unit.
Sementara pengamat ekonomi INDEF, Tauhid Ahmad mengungkapkan Indonesia akan mampu menguasai industri mobil listrik global pada masa mendatang. Sebab, memiliki sumber baterai listrik dari turunan nikel. Seperti diketahui, baterai listrik merupakan komponen paling mahal dari mobil listrik tersebut. “Dengan sumber daya yang dimiliki, kita memiliki daya saing yang bisa diandalkan,” ujar Tauhid.
Dari sisi teknologi, untuk mengembangkan industri mobil listrik, kata Tauhid, Indonesia tidak dapat bekerja sendiri melainkan harus menjalin kolaborasi dengan perusahaan luar. Selain itu, pemerintah ke depan harus lebih banyak memberikan dukungan insentif fiskal.
Dari sisi industry otomotif, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) melihat potensi mobil EV cukup bagus. Hanya saja saat ini masih terkendala, terutama soal harga yang masih “selangit”. Ini merujuk pada mobil laris manis yang berkisar Rp250 juta ke bawah. Sedangkan mobil listrik paling murah saat ini masih di atas Rp600 juta.
Untuk menekan harga jual, Gaikindo mengusulkan komponen-komponen BEV dapat diproduksi di dalam negeri. Adapun para produsen baterai kendaraan listrik diharapkan bisa bekerjasama dengan para agen pemegang merek (APM). Dengan sinergi seperti ini diharapkan harga jual kendaraan listrik dapat lebih ramah kepada konsumen.
Gaikindo sendiri belum menargetkan penjualan BEV pada tahun ini. Pasalnya, pasar sedang mengetes prospek model kendaraan ini. Seperti halnya dulu ketika perpindahan kendaraan transmisi manual ke otomotis, pasar tidak begitu saja menerimanya. Perlu proses transisi untuk menyerap dan membiasakan diri dengan teknologi baru. Namun setelah merasakan keunggulannya, pasar langsung bereaksi positif.
Masa depan kendaraan bermotor listrik salah satunya ditentukan komitmen pemerintah dalam menjalankan peta jalan yang telah dibuat. Selain itu, beragam insentif yang sudah dan bakal diterbitkan juga akan memengaruhi minat konsumen untuk memiliki kendaraan ramah lingkungan tersebut. (Kur).