hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Program Pemberdayaan dalam Beberapa Sorotan

Program Pemulihan Ekonomi Nasional untuk sektor informal/UMKM dengan dana jumbo bergulir mengiringi pandemi Covid-19. Proses, tahapan dan kuantifiksi keberhasilannya dilaporkan. Seperti biasa, akurasinya dikritisi kalangan pemerhati di sana-sini.

Bersamaan dengan penanganan krisis kesehatan pandemi, pemerintah juga menjalankan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Itu respons atas penurunan aktivitas masyarakat, khususnya sektor informal atau UMKM, yang berdampak langsung berupa tergerusnya ekonomi. Empat Program PEN digawangi Kemenkop dan UKM adalah Banpres Produktif Usaha Mikro, Subsidi KUR, Pembiayaan Investasi kepada Koperasi melalui LPDB-KUMKM, dan Subsidi Non-KUR.

Menurut Menkop dan UKM Teten Masduki, hingga akhir  September, realisasi penyaluran program PEN di sektor UMKM sudah mencapai 70% dari total anggaran. Penyaluran Banpres periode Agustus-September telah mencapai 72,46% dengan nilai Rp15,93 triliun. Jumlah pelaku usaha mikro yang mendapat bantuan sebanyak 6,63 juta orang, dengan nilai bantuan Rp2,4 juta per pelaku usaha.

Realisasi Pembiayaan Investasi kepada Koperasi melalui LPDB diungkap sangat signifikan mencapai 74,56% dengan nilai Rp745,6 miliar. Total nilai program ini Rp1 triliun. Capaian Subsidi KUR telah diterima oleh 5,53 juta nasabah atau mencapai 33,08%. Kisah dan nuansa di balik laporan yang unjuk tanda-tanda ke arah pemulihan itulah yang perlu dielaborasi secara kritis dan proporsional. Warning dari para pemerhati ekonomi berikut ini seyogianya disikapi dengan cemat, bukan?

HINGGA Juli, pemerintah telah menggelontorkan total stimulus Rp152,15 trilun kepada BUMN untuk Penyertaan Modal Negara, Pembayaran Kompensasi, dan Dana Talangan Investasi. Artinya, kebijakan PEN lebih condong mementingkan penyelamatan bisnis BUMN ketimbang pemulihan dampak Covid-19. Padahal, itu adalah utang negara kepada BUMN yang sebelumnya tidak dibayar tepat waktu selama bertahun-tahun. “Semuanya tidak ada hubungannya dengan Covid-19. Saya harus katakan, negara kita ini ugal-ugalan,” ujar ekonom senior Faisal Basri.

Di sektor pertanian, yang paling terdampak adalah subsektor tanaman pangan. Tapi, tidak satu rupiah pun alokasi untuk mereka. Subsektor yang terkontraksi lainnya adalah jasa pertanian dan perburuan. Demikian pula dengan sektor industri manufaktur. Dari 14 subsektor, terdapat 8 sektor yang pertumbuhannya negatif. Bantuan sektor pertanian subsektor tanaman pangan hanya berupa bantuan petani miskin. Padahal, petani sudah kesulitan karena impor pertanian ke Indonesia terus meningkat. Mulai dari gula, buah-buahan hingga sayur-mayur.

Sekadar contoh salah kaprah yang ditunjuk Faisal Basri, utang pemerintah ke PLN dari sebelum covid-19 mencapai Rp73 triliun sampai akhir tahun ini. Pemerintah, katanya, harus mengkaji kembali program PEN dan alokasi serta potensi ketepatsasarannya. Bila tidak, stimulus ini tidak akan mampu mendongrak perekonomian. Faisal memprediksi pemulihan ekonomi nasional baru akan selesai dalam lima tahun ke depan.

Opini senada dikemukakan Kamarussamad, Anggota Komisi XI DPR RI. Bahwa Program PEN tidak mencerminkan kebutuhan prioritas dalam penanganan dampak pandemi Covid-19. Ada beberapa contoh alokasi dana tidak tepat. Di antaranya, anggaran untuk BUMN yang mencapai Rp135,34 triliun dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PNM), kompensasi, dana talangan, subsidi hingga berbentuk Bansos. Padahal, di dalam kondisi normal saja, di tahun 2018 setidaknya ada 12 BUMN merugi Ke-12 BUMN tersebut adalah PLN, Hutama Karya, Perum Bulog, Garuda Indonesia, KAI, PTPN, BPUI, PNM, KS, Perumnas, Pertamina, dan ITDC.

Lagipula, pemberian stimulus khusus ke BUMN, menurut pengamat ekonomi Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, memerlukan kehati-hatian. karena nanti akan ada komplikasi juga ke pelebaran defisit tiga tahun mendatang. Salah satu faktor penyebab melebarnya angka defisit itu (nanti) dipengaruhi oleh stimulus untuk BUMN ini, bersama faktor pemicu yang lain.

Pemerintah disarankan menghitung kembali kebutuhan anggaran penanganan Covid-19. Besaran alokasi dana untuk segmen kesehatan perlu didudukkan secara proporsional. Sejauh ini, segmen ini terkesan dimanfaatkan, diatasnamakan. Hal serupa juga terjadi dalam kebijakan segmen pemulihan ekonomi. “Pada sektor riil, seyogianya pemerintah memberi perhatian pada masalah pangan, UMKM, industri padat karya dan industri pariwisata,” ujar Kamarussamad.

                Sampai dengan 22 Juli, misalnya, anggaran PEN baru terserap 19 persen. Masih jauh dari harapan, memang. Belanja perlindungan sosial untuk penanganan Covid-19 baru berada pada level 38,31 persen. Terkait program PEN, pendorongan permintaan atau demand melalui jaring pengaman sosial masih rendah. “Padahal, perlindungan sosial atau membentuk demand penting dilakukan demi mencegah resesi,” ujar Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad.

Sampai akhir Juli itu pula, pemerintah sudah tiga kali mengubah proyeksi kebutuhan biaya penanganan Covid-19 dalam dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan sejak adanya Perpes No. 54/2020. Semula anggaran itu Rp405,1 triliun yakni untuk kesehatan Rp75 triliun dan program PEN Rp330,1 triliun. Lalu anggaran naik menjadi Rp641,17 triliun, dengan alokasi untuk kesehatan tetap Rp75 triliun.

Perubahan berikutnya, sebagaimana dicermati  Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati, anggarannya menjadi Rp 677,20 triliun, dengan alokasi Rp87,5 triliun untuk kesehatan.  Realisasi anggaran untuk penanganan Covid-19 dan PEN baru mencapai 19 persen atau Rp136 triliun dari total yang sudah dianggarkan di Rancangan APBN-P 2020 sebesar Rp695 triliun

Terkait perubahan plafon anggaran yang makin besar seperti itu Anis mengingatkan perihaal konsekuensi bakal meningkatnya defisit. Kebutuhan utang untuk biaya defisit meningkat dari Rp213,9 triliun menjadi Rp220,3 triliun.  Terakhir Menteri Keuangan memproyeksi dan penanganan Covid dapat melonjak hingga Rp905,1 triliun. Penambahan itu membuat kebutuhan utang dengan sendirinya meningkat.

Mengutip Suhaji Lestiadi, mantan banker, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi, Anwar Abbas, menekankan perlunyapemerintah memperhatikan dua hal. Pertama, terkait dengan subsidi bunga kepada UMKM.Kebijakan ini hanya menguntungkan dunia perbankan dan tidak berdampak langsung terhadap pemulihan UMKM. Entitas usaha mikro, siapa pun tahu, boleh dibilang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia perbankan.Mereka pada umumnya tidak nasabah bank. Padahal, jumlah usaha mikro tersebut sangat besar, yaitu sekitar 63,3juta atau 98,68% pelaku ekonomi.

Yang akan bisa tersentuh lewat bantuan atau subsidi bunga ini adalah hanya usaha kecil dan menengah.Jumlahnya sangat sangat sedikit dibanding usaha mikro. Populasi entitas usaha kecil sekitar 783,1 ribu (1,22%) dan usaha menengah tak lebih dari 60,7 ribu (0,09%).

Kedua, terkait dengan bantuan bahan pokok.Paket bantuan sembako yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat berpenghasilan rendah sekilas seakan tanpa masalah. Tapi di situ terjadi kegiatan ekonomi yang justru lebih menguntungkan usaha besar. Sebab, pemerintah membeli secara langsung dalam partai besar kepada usaha besar. Pertimbangannya tentu saja harga yang rendah. Alhasil, kebijakan ini tidak mendorong terjadinya geliat ekonomi di lapis masyarakat bawah.

Stimulus PEN untuk UMKM tersebut, menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, masih terlalu konservatif. Stimulus yang diberikan dalam bentuk restrukturisasi kredit, subsidi bunga, dan penjaminan modal kerja itu masih terlalu terfokus pada aspek pembiayaan melalui institusi perbankan. Padahal, sebagian besar UMKM, khususnya usaha skala mikro yang jumlahnya mencapai 98% dari total unit usaha di Indonesia, umumnya masih belum bankable.

Agar program itu lebih efektif dan bagi mereka yang jadi kelompok sasaran, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan, sebaiknya pemerintah memperbaiki mekanisme pendataan. Gunanya, untuk menjaga akuntabilitas program dan memastikan bantuan memang sampai kepada mereka yang termasuk dalam kriteria penerima.“Ini penting untuk mengeliminir potensi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

                Anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang pada 2021 menjadi Rp356,5 triliun Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad. Anggaran itu sendiri turun 55,7 persen dari 2020 senilai Rp695,2 triliun. Dalam pandangan dia, sejumlah pos anggaran mengalami kenaikan ataupun pengurangan yang tidak proporsional dengan realisasi serapannya pada 2020. Misalnya, anggaran sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (Pemda).

                Selain masalah alokasi dan utilitas dana PEN, Indef juga mengkritisi alokasi dana dalam RAPBN 2021. Peneliti Indef lainnya, Media W. Askar, menambahkan alokasi dana perlindungan sosial pada RAPBN 2021 kalah bersaing dengan prioritas lainnya. Padahal, proyeksi kenaikan jumlah penduduk miskin dan pengangguran sudah diprediksi baik oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga keuangan global.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan tingkat kemiskinan berpotensi kembali menembus kisaran 12 persen seperti pada 2011 lalu. Senada dengan Menkeu, Bank Dunia memperkirakan pandemi menambah jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 5,6 juta hingga 9,6 juta orang pada tahun ini. Dari asumsi itu, tingkat kemiskinan naik sekitar 2,1 persen sampai 3,6 persen.

“Saya kurang yakin pemerintah mampu menghabiskan sisanya 75 persen di 2020 ini. Bahkan, sampai akhir 2020 nanti, terserap 60 persen saja sudah cukup bagus jika melihat kinerja (gugus tugas) selama ini,” kata Tauhid Ahmad.●(dd)

pasang iklan di sini