hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

Potensi Ekonomi Kita

Kalau sudah mematut-matut promosi dan potensi, Pak Presiden kita, Joko Widodo bolehlah dibilang jagonya. Banyak data diungkap yang bisa bikin kalangan investor melongo dan manggut-manggut, bahwa Indonesia memang raksasa ekonomi yang sedang tidur.  Bayangkan saja, ekspor mentahan nikel senilai Rp17 triliun, jika digeser ke produk hilir bisa lompat menjadi Rp510 triliun. Itu baru dari satu produk bernama nikel, bagaimana dengan potensi sumber daya mineral lainya, seperti batubara, emas, timah dan tembaga. Belum lagi potensi bursa karbon Rp3.000 triliun saat diluncurkan di Bursa Efek Indonesia akhir September 2023 lalu.

Potensi menggiurkan lainnya diungkap Jokowi adalah ekonomi digital. Tahun lalu, sektor ini menyumbang US$77 miliar dan pada 2025 akan mencapai US$146 miliar. Puncaknya pada 2030, ditaksir mencapai US$360 miliar alias Rp5.400 triliun. Kekayaan terpendam lainnya, harta karun berlimpah di sektor sumber daya energi hijau (green economy) dengan kandungan 434.000 megawatt. Menyusul promosi tersebut, juga akan dibangun kawasan industri hijau seluas 30.000 hektar di Kalimantan Utara. 

Demikian besarnya potensi sumberdaya alam kita, sudah  digaungkan Jokowi sejak ia kampanye pada 2014. Janjinya kala itu, jika terpilih menjadi Presiden RI, kebijakan impor pangan, seperti beras, sayur, daging dan ikan segera distop.  Indonesia dengan kekayaan alam melimpah seharusnya jadi negara pengekspor. 

Seperti halnya kita, Jokowi kala itu juga gagal paham mengapa Indonesia harus mengimpor komoditi yang jumlahnya melimpah di negeri sendiri.  Koq bisanya pejabat kita impor garam untuk negeri dengan garis pantai ketiga terpanjang di dunia.  Padahal, solusinya mudah saja kata Jokowi, yaitu jika pemerintah punya niat, maka stop impor bisa terlaksana.

Kini, jelang dua akhir dua periode kepemimpinannya, Jokowi masih konsisten ngotot mengungkap kekayaan sumber daya alam Indonesia. Namun, berkelindan dengan itu impor  sejumlah bahan kebutuhan pokok  rakyat tetap jalan. Mengutip data CNBC, dalam 11 tahun terakhir, rakyat Indonesia telah merogoh kocek US$84,8 miliar atau setara Rp1.272 triliun untuk belanja beras, susu, bawang, garam, daging dan gula dari pasar internasional.

Jika diurut lebih jauh pada komoditas pangan lainnya, kita harus siap mengurut dada bahwa  bahan baku makanan favorit, tahu dan tempe masih 90% impor. Di tanah maha luas dan subur ini, produksi kedelai hanya 200.315 ton atau 10% saja dari kebutuhan nasional per tahun 2.983.511 ton.  Komoditas lainnya seperti jagung, kacang tanah, bawah merah dan bawang putih, nasibnya juga setali tiga uang. 

Apakah di negeri yang subur makmur ini rakyatnya begitu malas mengolah sumber alam sehingga gemar sekali impor? Tudingan ini pas dengan sindiran Jokowi tentang impor aspal yang terus meningkat. Kendati ada deposit aspal sejumlah 622 juta ton di Buton, Sulawesi Tenggara, tapi sejak 34 tahun Indonesia tetap impor hampir satu juta ton aspal dari berbagai negara dengan jumlah yang terus meningkat. Eksportir aspal terbesar ke Indonesia adalah Singapura. Negara tetangga yang luasnya hanya sebesar Jakarta Barat ini juga pemasok terbesar bahan bakar minyak sejumlah 10,91 juta ton atau 42% dari total impor BBM Indonesia. Ketika saat kampanye 2014 lalu itu, kita masih ingat tudingan Jokowi bahwa pemerintah bisa menyetop impor komoditi pangan pokok tersebut jika memang punya niat baik.

pasang iklan di sini