
Peluang News, Jakarta – Pemerintah tidak memiliki kebijakan strategis untuk mengatasi permasalahan lonjakan harga pangan yang terjadi setiap menjelang Ramadan.
Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut. Demikian terungkap dalam Dialog Kenegaraan DPD RI yang digelar di Gedung DPD RI, Rabu (6/3/2024).
“Pemerintah tidak serius dalam mengatasi permasalahan pangan yang dirumuskan melalui kebijakan strategis,” kata anggota DPD RI dari Sumatra Utara, Dedi Iskandar Batubara, Rabu (6/3/2024).
Dia mengingatkan siklus permasalahan pangan seperti lonjakan harga dan kelangkaan bahan pokok, serta penurunan produktivitas pertanian, selalu terjadi tiap tahunnya.
Dedi menilai daya terawang pemerintah untuk melihat perubahan ke depan semakin tidak tajam, karena peristiwanya berulang dan telah menjadi siklus.
“Kalau ada kesalahan-kesalahan, ditimpakan ke El Nino. Ke depan pemerintah harus lebih fokus untuk melihat situasi ini, terutama terkait bahan pokok. Kalau kebutuhan bahan pokok itu mesti dan harus (diantisipasi),” kata dia.
Baca: Kenaikan Harga Akibat Masalah Struktural, El Nino Jadi Kambing Hitam
Menurut Dedi, pemerintah terlalu menyerahkan harga bahan pokok ke mekanisme pasar. Sehingga keuntungan kenaikan harga bahan pokok tidak dirasakan petani, tetapi para pelaku perdagangan dan distributor.
“Kalau harga beras naik, harusnya petani sejahtera seiring kenaikan pendapatan. Tapi faktanya, petani segitu segitu saja. Bahkan, pada posisinya masih miskin. Ada yang keliru dari pemerintah yang menyerahkan ke mekanisme pasar, tidak bisa dikendalikan,” tutur dia.
Baca: Harga Beras Melonjak, Sri Mulyani Minta Pemerintah Waspada
Anggota Komisi IV DPR RI Luluk Nur Hamidah berpendapat pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Sebab, selama ini upaya jelas untuk meningkatkan produktivitas pangan belum sepenuhnya dilakukan dan tidak ada kebijakan yang menunjukkan keberpihakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan.
“Jadi saya fokusnya bukan beras, karena beras itu hanyalah salah satu hal saja dari sekian banyak isu yang sangat problematik terkait dengan tata kelola pangan kita. Belum lagi politik pangan anggaran dan lain-lain yang membuat kesimpulan sederhana, ya pemerintah tidak cukup serius,” kata Luluk, menegaskan.
Permasalahan pangan, lanjut Luluk, oleh pemerintah selalu diatasi melalui kebijakan impor. Pemerintah tidak menempatkan isu kedaulatan pangan sebagai prioritas yang harus segera dilakukan.
Baca juga: Tambah Kuota Impor 1,5 juta Ton Bulog Siap Stabilkan Harga Beras
Hal tersebut terlihat dari alokasi anggaran yang digunakan untuk peningkatan produktivitas pangan. Bahkan konversi lahan pangan terus terjadi sejak omnibus law berlaku.
“Yang menarik menurut saya berapa sebenarnya uang yang kita gunakan untuk impor. Dan kalau uang ini kita pakai untuk insentif para petani kita, cukup nggak sih untuk mendongkrak produktivitas pertanian,” kata dia.
Wakil Ketua Komite II DPD RI Abdullah Puteh menambahkan, kebijakan impor yang sering dilakukan menunjukkan kegagalan dalam kebijakan penguatan pangan di Indonesia.
Penguatan sektor pangan harus dilakukan secara terpusat, tetapi dilakukan oleh pemerintah daerah karena dinilai lebih mengetahui yang dibutuhkan di daerahnya.
Sementara itu, pengamat pertanian Khudori menilai permasalahan pangan selain diakibatkan penyerahan ke mekanisme pasar, juga banyaknya konversi lahan pangan yang terjadi pasca diberlakukannya omnibus law.
Sejak UU tersebut berlaku, banyak lahan pertanian yang berubah menjadi proyek-proyek pembangunan tanpa memikirkan efek jangka panjang di sektor pangan. Omnibus law menganulir beberapa UU yang bertujuan untuk melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan, terutama terkait konversi lahan.[]