
Peluang News, Jakarta – Pemerintah diminta waspadai fenomena deflasi beruntun yang terjadi dalam empat bulan terakhir. Sebab, ini mengindikasikan adanya penurunan permintaan, atau melambatnya tingkat konsumi masyarakat.
“Ini perlu diwaspadai. Penyebab terjadinya deflasi adalah permintaan barang turun sedangkan produksi meningkat. Permintaan turun bisa disebabkan terjadinya pelambatan kegiatan ekonomi yang kemudian berdampak ke penghasilan yang turun sehingga jumlah uang beredar pun menjadi berkurang,” kata Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Anis Byarwati, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (4/9/2024).
Menurut Anis Byarwati, fenomena deflasi yang terjadi dalam empat bulan terakhir bukan hal sepele. Pasalnya, itu dapat mengindikasikan adanya penurunan permintaan, atau melambatnya tingkat konsumi masyarakat.
Karenanya, Anis mendorong pemerintah untuk terus mencermati perkembangan terkini dari kemampuan konsumsi masyarakat. Jika pelambatan terus terjadi dan dibiarkan, maka dampak ke perekonomian akan cukup terasa.
Hal itu disebabkan, ungkap Anis yang juga Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR ini, adalah konsumsi rumah tangga, atau masyarakat masih menjadi penopang utama dari pertumbuhan ekonomi nasional. “Jika konsumsi rumah tangga turun maka akan menekan angka pertumbuhan ekonomi,” tutur Anis.
Kemudian dari sisi investasi, lanjut Anis, pelemahan permintaan juga menjadi sinyal peringatan, karena investor akan berpikir ulang untuk melakukan investasi baru atau ekspansi usaha jika permintaan melemah.
Dengan fenomena deflasi beruntun ini, Anis mengingatkan pemerintah bahwa deflasi yang terjadi sedianya mengonfirmasi persoalan krusial di masyarakat. Itu terutama berkaitan dengan turunnya pendapatan kelas menengah di Indonesia, sehingga menyebabkan daya beli kelas menengah mengalami penurunan berturut-turut dalam beberapa bulan terakhir.
“Bahkan mereka terpaksa menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal tersebut, terkonfirmasi dari laporan terbaru Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarkat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) memperkirakan ada 8,5 juta kelas menengah yang jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah,” ujar Anis.
Untuk itu, dia mendorong pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk mengantisipasi dampak rambatan yang ditimbulkan oleh deflasi, baik yang bersifat jangka pendek maupun panjang.
“Dalam jangka pendek, perlu segera merumuskan perlindungan sosial bagi kelas menengah untuk konsumsi, biaya pendidikan dan kesehatan serta transportasi. Dalam jangka panjang, mempertimbangkan kembali kenaikan PPn tahun depan dan merevisi kembali UU Cipta Kerja yang tidak berpihak pada pekerja,” jelas Anis.
Di kesempatan berbeda, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman menyampaikan, penurunan kemampuan daya beli masyarakat tercermin dari berkurangnya konsumsi pangan sekunder.
“Memang sementara ini fokus masyarakat adalah ke pangan pokok. sementara pangan sekunder agak berkurang. Ini yang jadi tantangan kita,” ujarnya kepada pewarta di Jakarta.
Penurunan konsumsi itu, lanjut Adhi, perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Sebab, secara spesifik hal tersebut akan berdampak pada pelambatan pertumbuhan industri makanan dan minuman di Tanah Air.
Senada dengan Anis, Adhi turut menilai kemampuan konsumsi masyarakat mesti dipelihara dan ditingkatkan agar perekonomian bisa tumbuh seperti yang diharapkan. Karenanya, ia berharap pengambil kebijakan dapat mengeluarkan stimulus bagi masyarakat.
“Kami dari industri juga merasakan bahwa kelas menengah bawah ini daya belinya agak berat, karena memang beberapa kenaikan harga, dan di samping itu juga banyak pengeluaran masyarakat yang harus ditanggung,” jelas Adhi.
“Sementara kita berharap pemerintah bisa lebih fokus meningkatkan daya beli di kelas bawah ini, seperti misal, BLT bisa ditingkatkan agar bisa menggairahkan pasar terlebih dulu,” saran dia. (Aji)