hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Pelemahan Rupiah Dipicu Risiko Defisit APBN, Ekonom Soroti Rencana Penggunaan SAL

Pelemahan Rupiah Dipicu Risiko Defisit APBN, Ekonom Soroti Rencana Penggunaan SAL
Pelemahan Rupiah dipicu risiko defisit APBN 2025/dok.isti

PeluangNews, Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah, dipengaruhi oleh ekspektasi pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menyebut risiko fiskal menjadi salah satu tekanan utama bagi kurs rupiah.

“Pelemahan kurs rupiah turut dipengaruhi oleh pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengindikasikan pelebaran defisit APBN 2025 menjadi 2,78 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih tinggi dari target awal sebesar 2,50 persen,” ujar Josua seperti dikutip dari LKBN Antara, Rabu (2/7).

Meski demikian, Josua menilai pemerintah masih memiliki ruang fiskal untuk menjaga stabilitas, termasuk memanfaatkan Sisa Anggaran Lebih (SAL) guna menekan penerbitan utang baru.

Sebelumnya, pada Selasa (2/7), Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengajukan permohonan penggunaan SAL sebesar Rp85,6 triliun kepada DPR RI. Langkah ini ditempuh untuk mengantisipasi pelebaran defisit yang diproyeksikan mencapai Rp662 triliun atau 2,78 persen dari PDB—lebih tinggi dari target APBN 2025 yang sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB.

Menurut Josua, potensi tidak tercapainya target penerimaan negara menjadi penyebab utama membesarnya defisit tersebut. Pendapatan negara tahun depan diperkirakan hanya menyentuh Rp2.865,5 triliun atau sekitar 95,4 persen dari target yang ditetapkan dalam pagu sebesar Rp3.005,1 triliun.

“Untuk menghindari ketergantungan pada pembiayaan utang, pemerintah juga berencana menggunakan sebagian SAL dari tahun anggaran 2024 yang mencapai Rp457,5 triliun,” lanjutnya.

Dari sisi eksternal, Josua menambahkan bahwa penguatan dolar AS terhadap mayoritas mata uang Asia, termasuk rupiah, terjadi akibat rilis data Job Openings and Labor Turnover Survey (JOLTS) yang menunjukkan pasar tenaga kerja AS masih ketat. “Data tersebut memberikan sinyal bahwa kondisi pasar tenaga kerja masih solid, yang mendorong penguatan dolar,” kata dia.

Senada dengan Josua, Analis Bank Woori Saudara Rully Nova juga menggarisbawahi bahwa faktor utama pelemahan rupiah adalah meningkatnya risiko fiskal akibat defisit yang mendekati batas 3 persen dari PDB. Rully juga menyebut potensi risiko eksternal dari rencana Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif resiprokal pada 9 Juli 2025 sebagai tekanan tambahan bagi rupiah.

Pada penutupan perdagangan Rabu (2/7), rupiah melemah 47 poin atau 0,29 persen menjadi Rp16.247 per dolar AS dari posisi sebelumnya di Rp16.200 per dolar AS. Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia juga melemah ke level Rp16.236 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.196 per dolar AS. (Aji)

pasang iklan di sini