YOGYAKARTA—-Setidaknya dua orang musisi nasional, yaitu Didi Kempot lewat lagunya “Malioboro” (dirilis 1988) dan Katon Bagaskara dan KLA Projectnya lewat lagu “Yogyakarta” salah satu album yang rilis pada 1990 mengakui bahwa Malioboro sulit dilepaskan dari pedagang kaki lima, kuliner kaki lima dan musisi jalanan.
Sejak kapan PKL dan kuliner kaki lima muncul menempati trotoar Malioboro, setidak tahun 1970-an. Salah satu di antara yang legendaris adalah Gudeg Pincuk Malioboro Bu Djati yang berdiri sejak 1976, yang kini diteruskan oleh putrinya Rofi Fatmawati.
Gudeg Bu Djati termasuk salah satu dari 1.836 PKL yang direlokasi sejak 1 Februari 2022 ke tempat baru dalam rangka penataan kawasan. Lokasi baru para PKL ada di Teras Malioboro 1 dan 2. Teras Malioboro 1 berlokasi di eks Gedung Bioskop Indra, sementara Teras Malioboro 2 berlokasi di eks Kantor Dinas Pariwisata DIY.
“Kami ditempatkan di Teras Malioboro 1 depan Pasar Beringharjo dan mendapatkan lokasi di outdoor, hingga saat ini belum ada listrik dan atap. Tidak ada tempat lesehan karena konsepnya dibuat foodcourt dengan disediakan meja dan kursi yang digunakan bersama, “ ujar Rofi ketika dihubungi Peluang, Rabu (9/2/22).
Meskipun khawatir apakah nanti akan seramai dulu wktu maish menempati lesehan dengan kapasitas lebih kecil, dia masih mengucapkan terima kasih dengan Pemerintah Kota Yogyakarta bahwa pedagang kaki liama masih diberikan tempat untuk berjualan.
Salah satu yang dikhwatirkannya ialah wisatawan yang akan datang ke Yogyakarta tidak memperoleh informasi di mana menemukan pelaku kuliner lesehan yang menjadi legenda dan ikon wisata. Masih diperlukan untuk sosialisasi dan menerima wajah baru Malioboro. Dia berharap ada promosi untuk mendatangkan wisatawan.
Rofi menyampaikan hingga saat ini kawasan Mailioboro seperti “kota mati”. Banyak yang terdampak akibat relokasi. Bukan hanya PKL tetapi juga kuli dorong gerobak kehilangan pekerjaan. Becak juga sepi, karena wisatawan enggan masuk Malioboro karena tidak ada PKL.
“Kalau saya usul lebih baik PKL itu ditata, bukan dipindah. Jadi khas Malioboro masih ada dan tetap ramai pengunjung. Banyak wisatawan yang datang ke Yogyakarta karena ingin menikmati suasana makan santai di pinggir jalan ditemani musisi jalanan,” tutur dia.
Ke depannya, Rofi menjalankan strategi memperkuat pemasaran secara daring dan membuka cabang di tempat lain yang lebih ramai. Selain itu pihaknya akan membuat produk dalam kemasan kaleng yang bisa dibawa pulang tamu sebagai oleh-oleh Khas Yogyakarta, hingga dititipkan di toko oleh-oleh yag ada di seluruh Indonesia.
Relokasi itu dilakukan sebagai bagian dari penataan kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta yang mencakup area Malioboro. Sumbu Filosofi merupakan garis lurus yang membentang dari tiga bangunan penting di Yogyakarta, yakni Tugu Golong Gilig atau Tugu Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.
Sumbu Filosofi itu melambangkan perjalanan manusia sejak lahir hingga meninggal atau kembali kepada Tuhan. Sejak beberapa tahun lalu, Pemda DIY berencana mengajukan kawasan Sumbu Filosofi sebagai warisan budaya dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Pemindahan PKL adalah satu langkah yang diambil Pemerintah Daerah DIY untuk mengupayakan status warisan budaya.
Kepala Dinas Koperasi dan UKM (KUKM) DIY Srie Nurkyatsiwi menuturkan relokasi tersebut sebagai upaya memuliakan PKL Malioboro agar mendapatkan tempat yang lebih representatif.
“Relokasi tersebut bertujuan menata kawasan Malioboro sebagai bagian dari upaya Pemda DIY mengajukan kawasan sumbu filosofi DIY sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO,” ujar Siwi beberapa waktu lalu (van).