BATANG HARI—-Jangte masih ingat benar sebelum 1990, pengrajin ukiran kayu di Desa Pulau Betung, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari, Jambi mencapai lebih dari seribu orang. Namun kini jumlahnya hanya sekitar lima belas perajin.
Menurut Jangte penyebabnya ialah pemasaran dan para perajin tidak mampu menjaga kualitas produk mereka. Di antaranya mereka tidak bisa membeli mesin oven pengering kayu agar kayunya kuat dan bermutu.
Selain itu para pelaku kerajinan semakin sulit mendapatkan bahan baku. Biasanya Jangte mengambil dari hutan. Para perintis kerajinan ini memanfaatkan sisa kayu hasil tebangan jenis Renggas dan Tembesu. Kini setelah kayu sulit didapat, para perajin membeli dengan merogoh kocek jutaan rupiah. Memang dari hasil itu dia bisa membuat berbagai macam perabot. Hanya saja penjualan juga tidak mudah.
Pria kelahiran 1977 ini mengaku menjadi perajin meneruskan usaha keluarganya yang sudah dirintis sebelum 1990, sekaligus juga terpanggil untuk melestarikan budaya daerahnya tidak sampai punah.
“Pemasaran selain dipajang di pinggir jalan, ikut pameran. Tidak semuanya membuahkan hasil. Yang tertinggi pernah saya dapat ketika ikut pameran di Pekan Raya Jakarta pada 2016 mendapat Rp100 juta,” ujar Jangte ketika dihubungi Peluang, Selasa (9/7).
Menurut Jangte kerajinan mebel pulau Beteng punya ciri khas, yaitu tidak ada sambungannya. Selain itu ukirannya menyerupai lilitan akar kayu yang mempunyai nilai seni yang tinggi. Proses pembuatannya membutuhkan ketelian dan ketekunan.
“Sebuah kursi dengan motif naga membutuhkan waktu dua bulan. Kalau motif akar satu bulan selesai. Harganya juga berbeda. Kalau kursi naga dibandroll Rp30 juta. Sementara meja hanya Rp1 juta,” ungkap Jangte.
Sebagai catatan ukiran Kayu Pulau Betung tersebut, sempat menjadi primadona Bagi Kabupaten Batanghari, tidak hanya terkenal di tingkat nasional, akan tetapi menembus pasaran Singapura, Malaysia dan Thailand (Irvan Sjafari).