hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Pangkalpinang, Sebuah Etalase Atas Nama Dua Pulau

Wilayah jantung kota yang kini disebut ATM (Alun-alun Taman Merdeka) semula lapangan tak terurus penuh alang-alang. Wajah kumuh di depan rumah dinas Walikota Pangkalpinang itu ditata apik semasa Zulkarnain Karim.

KUNJUNGI Pulau Bangka. Cuma 50 menit dari Bandara Soetta. Saat-saat jelang landing, coba saksikan derita pulau ini akibat ‘luka’ di sekujur tubuhnya. Luka menganga bekas galian tambang, baik oleh perusahaan besar/resmi maupun penambangan rakyat/TI (tambang inkonvensional). Hamparan hutan hijau makin lenyap. Berganti warna galian bumi hasil eksploitasi. Pembiaran luka cokelat sepanjang hampir 200 tahun itu lama kelamaan berubah menjadi kolam-kolam (kolong).

Pemandangan miris itu anda saksikan di daerah periferi Kota Pangkalpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi Bandara Depati Amir berada di wilayah Bangka Tengah, 35 menit dari pusat kota Pangkalpinang. Pertambangan timah telah merusak 65% hutan di Pulau Bangka dan lebih dari 70% terumbu karang di sekitar pulau. Sungai-sungai telah terkontaminasi limbah tambang timah. Tak kecuali Sungai Rangkui, yang membelah Pangkalpinang—Kota Kemenangan menurut plesetan asyik kalangan usia lanjut.

Secara etimologi, Pangkalpinang berasal dari dua kata yaitu Pangkal/Pengkal dan Pinang. Pengkal/Pangkal dalam bahasa Melayu Bangka berarti pusat atau awal mula. Sebagai bagian dari Pulau Bangka yang dikelilingi laut, menjadikan Pangkalpinang sebagai salah satu daerah sentra produksi ikan laut. Selain itu, sebagian kecil masih ada petani nelayan yang mengusahakan penangkapan ikan di sungai.

Kota ini sudah berkembang sejak tahun 1757, tatkala Kesultanan Palembang membangunnya. Tambang timah di Pangkalpinang—yang sore hari kabel-kabel listriknya menghitam dipenuhi ribuan burung walet—sudah dikenal sejak masa itu. Industri tambang timah sebermula dikembangkan oleh colonial Inggris, hingga tahun 1914, selanjutnya berpindah tangan jadi kewenangan VOC/Belanda.

Kota berpenduduk 209.383 jiwa (Kemendagri, 2018) ini terbagi dalam 7 kecamatan, 42 kelurahan. Luas wilayahnya 118,41 km2. Artinya, hunian 1.999 jiwa/km2 menunjukkan tingkat kepadatan Pangkalpinang tergolong tinggi. Populasi kota ini mencakup etnis Melayu dan Tionghoa suku Hakka yang datang dari Guangzhou. Ditambah suku pendatang seperti Batak, Minangkabau, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Banjar, Bugis, Manado, Flores, Ambon—yang memelihara kerukunan berkat kedewasaan memahami toleransi.

Kantor pemerintahan kota ada di Kelurahan Bukit Intan, sedangkan pusat pemerintahan provinsi dan instansi vertikal di Kelurahan Air Itam. Kota ini juga pusat aktivitas perdagangan dan industri di Bangka Belitung. Logam timah dan lada putih (sahang) merupakan komoditas ekspor unggulan. Lima belas penerbangan oleh lima maskapai per hari dari Jakarta (Lion Air, Sriwijaya, Garuda, Citilink, NAM Air) mengisyaratkan intensnya denyut dan dinamika bisnis.

Penulis pertama kali mengunjungi kota ini tahun 2002, disusul sekian kali kehadiran sebagai ‘warga musiman’ hingga tahun 2015. Wilayah jantung kota yang kini disebut ATM (Alun-alun Taman Merdeka) saat itu lapangan tak terurus penuh alang-alang. Wajah kumuh di depan rumah dinas Walikota Pangkalpinang itu ditata apik semasa Wako Zulkarnain Karim (2003-2013). Kiprah Zulkarnain mengingatkan kita pada Ali Sadikin, yang menyulap hamparan semak belukar di depan Istana jadi cantik.

Zulkarnain pada awal-awal ATM dibangun menginginkan tempat itu ditumbuhi beragam bunga, dilengkapi gazebo dan panggung hiburan. Kini ATM Kota Pangkalpinang sudah dapat dinikmati sesuai tujuannya, tempat bersantai dan berkumpul warga. Di antara terobosan dan inovasi dilakukan Zulkarnain Karim yang  paling mengesankan adalah kehadiran pusat belanja BTC, Bangka Trade Center, yang mendongkrak performance Pangkalpinang sebagai ibukota Provinsi Kepulauan Babel.

Ikon kesejarahan Pangkalpinang terpateri pada Museum Timah Indonesia. Gedung di Jl. A Yani No. 179 dulunya merupakan bangunan milik Banka Tin Winning (BTW), badan usaha milik pemerintah kolonial. Korporasi BTW itu sudah hadir di Pulau Bangka sejak 1816, dengan Kota Muntok sebagai pusat keresidenannya. Namun, semasa pendudukan Jepang sekitar 1942, pusat keresidenan dipindahkan ke Kota Pangkalpinang.

Tempat ini pernah dijadikan ruang perundingan pra Roem-Royen sekitar tahun 1948-1949 yang dilaksanakan di salah satu kamar dari lima kamar yang ada. Resmi  menjadi Museum Timah Indonesia pada 1997, museum timah pertama di Asia. Dibuka untuk umum setiap hari, 08.00 WIB hingga 16.00 WIB, kecuali hari Jumat. Museum Tumah Pangkalpinang lebih banyak menceritakan sejarah pertimahan.

Ikon lainnya berkaitan dengan agrowisata favorit di Bangka Belitung. Yakni Botanical Bangka Garden, BBG. Taman ini didirikan akhir 2006 sebagai pengadaan bibit untuk reklamasi lahan bekas galian tambang. Semula BBG merupakan bentuk Corporat Social Responsibility perusahaan peleburan timah PT Dona Kembara Jaya. Perusahaan ini melakukan gerakan pemulihan lahan tambang di kawasan Ketapang hingga menjelma sebagai lokasi agrowisata yang subur, tenang dan teduh. Di atas lahan seluas 300 ha, terdapat pengembangan pertanian, peternakan dan perikanan terpadu.

Zero waste merupakan proses minimalisasi limbah dan sisa produksi dari tiga kegiatan tersebut. Apabila terdapat limbah, akan dimanfaatkan untuk mendukung sektor produksi lainnya. Bangka Botanical Garden juga dikembangkan untuk perkebunan buah naga, sayur-sayuran, peternakan sapi, pembibitan sejumlah pepohonan mulai dari sengon, ketapang, mede, dan yang lainnya.

Di BBG terdapat 14 kolam ikan berbagai jenis mulai ikan mas, nila, kakap putih, dan patin. Ikan-ikan tersebut tumbuh subur berkat kotoran sapi dan air seninya diolah menjadi pupuk organik. BBG kini memiliki sekitar 250 ekor sapi yang terdiri dari sapi pedaging, sapi perah, dan sapi Bali. Sebelum, jumlah sapi mencapai 1.000 ekor. Loksinya sekitar 14 km dari pusat kota, bersebelahan dengan Pantai Pasir Padi 

Keteraturan terlihat jelas saat kita memasuki kawasan sejuk hijau BBG. Wilayah ini dikelilingi tumbuhan perdu sebagai pagar hias. BBG juga menggunakan sistem terpadu yang semuanya berkait yaitu peternakan, perikanan, dan perkebunan. Ketiganya saling mendukung guna menyukseskan konsep zero waste yang dikembangkan oleh pengelola. Khususnya sebagai pusat pembibitan beragam jenis tanaman, ikan air tawar, tambak budi daya ikan, peternakan sapi perah dan potong, hingga mencetak persawahan yang ditanami palawija

Dengan kemauan kuat dan inovasi, lahan yang dulunya kritis dan ‘terbuang’, kini bertransformasi menjadi oase yang produktif, self-sustaining, dan bermanfaat langsung bagi masyarakat. Kehidupan liar juga telah kembali ke kawasan ini. Setidaknya, ada 200 jenis  satwa dan 2.000 jenis tumbuhan. Inspirasi dari Bangka Belitung ini juga pernah ditayangkan di stasiun televisi internasional Al-Jazeera dalam program Earthrise pada 2012.●(dd)

pasang iklan di sini